Haruskan Filsafat Dibubarkan?
Agustus 27, 2025 . by rudicahyo . in Catatan Bebas, Filsafat . 0 Comments
Belakangan ini sedang viral pernyataan dari seorang YouTuber tentang keberadaan jurusan filsafat di perguruan tinggi. Dialah Ferry Irwandi yang menyatakan bahwa Jurusan Filsafat lebih baik dibubarkan dari peguruan tinggi. Haruskan demikian?

Siapa yang menyukai filsafat? Kalau mau sedikit lebih berani mendeklarasikan, saya pastikan tidak banyak orang yang berhasrat untuk mempelajari filsafat. Pernyataan saya yang sembrono ini sudah saya pertimbangkan dengan sangat hati-hati. Kalimat tersebut masih sangat mentah dan sangat mudah untuk dielaborasi dengan berbagai cara defends atau ngeles.
Pada kenyataannya, memang sedikit orang yang ingin mempelajari filsafat secara formal. Namun kita juga tidak bisa melakukan klaim bahwa hanya sedikit orang yang suka dengan filsafat. Kita tidak punya data yang kuat untuk sekadar menyatakan bahwa keengganan orang untuk mempelajari filsafat secara formal, bukan berarti mereka tidak mempelajari filsafat di luar bangku kuliah. Atau kalau mau dengan kalimat yang lebih terbuka, sekalipun sedikit orang yang ingin mempelajari filsafat dari bangku kuliah, tidak berarti orang tidak suka berfilsafat. Berbagai pertanyaan dan pernyataan sehari-hari dari orang awam fislafat formal sekalipun, bisa jadi sangat filsafati. Misalnya orang mempertanyakan tentang kenapa satu orang dan orang lain berbeda dan sekaligus sama? Kenapa orang tidak diciptakan dengan kemampuan terbang padahal mereka sangat memungkinkan belajar berenang atau menyelam?
Kembali kepada video dari Ferry Irwandi yang merayakan kematian filsafat, mari kita komentari dulu tentang kematian filsafat dan pembubaran jurusan filsafat di perguruan tinggi. Pernyataan kematian filsafat dan pembubaran jurusan adalah dua hal yang berbeda. Saya melihat ‘kematian filsafat’ lebih kepada sebuah pernyataan ironic daripada kematian yang sesungguhnya. Kematian di sini adalah bentuk ditinggalkannya filsafat dan lebih meningginya minat kepada hal yang lebih praktis dan aplikatif. Padahal, dalam kajian filsafat senidiri, level praxis adalah bagian dari kajian filsafat aksiologi (ataupun juga epistemology). Saya lebih meyakini bahfa filsafat itu seperti jiwa. Saya percaya bahwa jiwa tidak pernah mati. Jika kita memasangkan jiwa dan tubuh, maka ini hanya tentang berubahnya orientasi ke arah body-minded, dimana orang lebih menyukai segala sesuatu yang lebih praktis dan aplikatif. Sementara itu, jiwa itu tetap bersifat kekal.
Sementara itu, pernyataan lain berkenaan dengan penutupan jurusan filsafat di perguruan tinggi, itu juga perlu dimaknai secara berbeda. Sebelum saya membahas tentang pembubaran jurusan filsafat dari institusi pendidikan tinggi formal, kita beralih dulu kepada sebuah video tiktok yang juga dibahas oleh Ferry Irwandi, yaitu sebuah counter opinion dari Nabil Aulia. Nabil menyatakan bahwa pembubaran jurusan filsafat yang dinyatakan oleh Ferry adalah logika short cut (Nabil lebih memilih penggunaan istilah logika melompat). Nabil mempertanyakan, jika jurusan filsafat ditutup sedangkan mata kuliah filsafat tetap diajarikan di berbagai jurusan non filsafat, lalu darimana tenaga pengajarnya. Nabil meyakini bahwa pengajar filsafat yang paling capable adalah lulusan jurusan filsafat.
Sebenarnya bantahan dari Nabil ini sudah ditanggapi oleh Ferry. Tanggapannya juga sudah sangat clear, yang menawarkan berbagai cara alternatif untuk belajar filsafat yang tidak harus melalui jurusan formal di perguruan tinggi. Ferry menyontohkan sistem yang sudah berlajan di Jerman, Prancis, dan Swedia. Meskipun sistem yang seperti itu memang tidak gampang berdiri di negara dengan ‘tradisi filsafat yang lemah’. Saya memberikan tanda pada istilah ‘tradisi filsafat yang lemah’, karena setiap negara memiliki karakteristiknya masing-masing, meskipun kita tidak bisa memungkiri bahwa negara yang praktis sekalipun (secara tidak sadar) berdiri di atas kaki filsafat pragmatism atau spirit fungsionalisme. Di luar itu semua, yang jelas Indonesia punya karakter (yang dibangun secara kultural) yang berbeda dengan Jerman, Prancis, maupun Swedia.
Terlepas dari karakter kultural, pemikiran Ferry tentang jurusan filsafat dan alternatif cara belajar filsafat juga sudah saya pikirkan sebelum saya benar-benar menonton videonya. Saya pertama kali mendapatkan kabar tentang hal itu dari Radio Suara Surabaya. Barulah setelah itu saya menonton videonya yang sudah berpolemik dengan Nabil Aulia.
Setelah melihat video polemic Ferry dan Nabil, saya tidak lagi berpikir tentang alternatif cara belajar filsafat selain melalui pendidikan formal. Saya lebih tertarik menjembatani keduanya. Pemikiran Ferry dan Nabil sebenarnya tidak sedang bertemu dalam atmosfir yang sama. Ferry sudah menggeser cara berpikirnya dari institusionalisasi menjadi infrastrukturisasi (meskipun tidak sepenuhnya). Berpikir institusionalisasi khas seperti bantahan dari Nabil. Ia tetap menganggap, secara formal kapabilitas pengajar filsafat adalah lulusan jurusan filsafat. Sementara Ferry menyatakan pembubaran jurusan filsafat lebih karena menurunnya jurusan tersebut ketika didasarkan pada kebutuhan praktis di Masyarakat. Artinya, filsafat seharusnya begerser memasuki wilahay infrastrukturisasi, dibebaskan dari institusi. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, sebenarnya Ferry tidak sepenuhnya. Berpikir demikian. Saya hanya menyajikan dua kutub ekstrimnya. Ferry masih ‘separoh institusi’, lebih-lebih setelah mendapat sanggahan dari Nabil.
Jadi, melihat filsafat sebagai bidang ilmu dan sebagai jurusan di perguruan tinggi itu dua hal yang berbeda. Kita akan lebih santai saja dengan wacana ini ketika sudah tahu sudut pandang mana yang akan digunakan. Namun kesantaian itu hanya tentang sikap terhadap polemik, tapi masih belum final pada sikap terhadap ditutupnya Jurusan Filsafat di Pendidikan Tinggi. Apakah Anda setuju atau tidak dengan pembubaran Jurusan Filsafat?
Tag: filsafat, Jurusan Filsafat