Kita hidup tidak hanya di dunia yang benar-benar ada, tetapi juga di dunia imajinasi dan persepsi. Dua dunia terakhir ini memang unik, memperluas kenyataan kita sampai tak berbatas hanya di benda yang kasat mata. Namun dua dunia inilah yang bisa membawa kita kepada over antisipasi yang kemudian melahirkan kecemasan.
Musim hujan datang, maka berkah datang buat semua, tak terkecuali yang rumahnya kebocoran atau lingkungannya kebanjiran. Namun sekarang aku tidak sedang akan membahas tentang sanitasi, drainase, atau gorong-gorong. Berawal dari sebuah cerita tentang hujan.
Beberapa hari belakangan ini, pulang sampai malam untuk keperluan penyelenggaraan konferensi internasional. Sehubungan dengan musim hujan, maka sore atau malam adalah waktu-waktu favorit buat hujan mengguyur bumi Surabaya.
Petang itu aku berniat pulang bersama teman yang juga berniat untuk hengkang. Baru nongol dari pintu gerbang kampus, baru tahu kalau di luar sedang turun hujan rintik-rintik dengan kelebatan yang sedang. Temanku yang sudah berniat mengeluarkan motornya mengurungkan niat. Padahal dia bilang, kalau dia ingin segera pulang karena kangen sama anaknya. Wah, so sweet.. Sebenarnya, aku juga begitu, kangen sama Si Bintang (hehe yang ini bacanya lirih saja ya).
Bedanya, aku tidak mengurungkan niatku. Aku bergegas mengeluarkan motor. Iseng tanya kepada mahasiswa yang juga berniat mengeluarkan motornya, “Kira-kira bakalan lebat ndak ya hujannya?”. Mahasiswa yang memang sedang mengenakan jas hujannya tersebut bilang, “Hujannya sih ndak lebat. Tapi kalau dipakai naik motor, lama-lama juga akan basah kuyup”. Karena penjelasan mahasiswa tersebut, aku pakailah jas hujanku.
Ternyata, tidak sampai 500 meter, sama sekali tidak hujan. Langsun teringat temanku yang tidak jadi pulang, dan terpikir diriku yang memutuskan memakai jas hujan karena keterangan dari seorang mahasiswa. Apakah ada yang salah dengan pilihan temanku mengurungkan niat untuk pulang, atau pilihan untuk memakai jas hujan karena penjelasan mahasiswa tentang ramalan hujan? Berbicara tentang pilihan, tidak ada yang salah. Karena sekali pilihan ditentukan, maka pilihan yang lain seharusnya tidak jadi bahan perbandingan. Aku hanya teringat kata-kata temanku tentang rasa kangennya kepada anaknya.
Setidaknya, seperti itulah kita menyikapi kenyataan. Kita membuat prediksi, melakukan antisipasi. Padahal, konsekuensi hanya bisa dilihat atau dirasakan ketika pilihan ditentukan. Ini yang disebut over antisipasi.
Over antisipasi dapat memunculkan kecemasan. Kecemasan ini dapat membuat kita tidak memilih atau tidak melakukan tindakan. Hal ini oleh Frankl disebut sebagai kecemasan antisipatif. Kembali kepada temanku yang tidak jadi pulang. Jika dia menjalani pilihannya dengan lapang dada, kiranya tidak akan menjelma menjadi kecemasan yang patologis. Namun jika pilihan untuk tidak pulang malah membuat galau, maka terjadilah kecemasan antisipatif tersebut.
Bagaimana cara mencegah kecemasan akibat over antisipasi ini? Langkah-langkah berikut bisa dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kecematasan tersebut.
1. Buatlah pertimbangan secukupnya berdasarkan fakta
Kembalikan kepada bahasa kenyataan. Jika kita tak menyaksikan secara langsung, maka tahan untuk membuat kesimpulan. Meskipun kita berusaha mengumpulkan data selengkap-lengkapnya, tetap saja keputusan harus diambil segera. Maka lakukan pertimbangan secukupnya saja. Realita yang berjalan semakin cepat menghendaki kita berpikir dan bertindak secara lebih cepat.
2. Buatlah proporsi yang seimbang antara persepsi dan data
Jika kita punya kecenderungan membuat persepsi, misalnya kita orang yang sangat intuitif, maka imbangi dengan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. Jika kita terbiasa membentuk persepsi dengan cepat, lebih baik kita juga mengimbanginya dengan kecepatan menghimpun fakta. Setidaknya, jaga persepsi tetap proporsional dengan fakta.
3. Kurangi membuat perbandingan setelah pilihan ditentukan
Membuat perbandingan setelah pilihan dijatuhkan, itu sis-sia. Tapi banyak orang punya kecenderungan seperti ini. Jika kita mebandingkan setelah pilihan ditentukan atau keputusan dibuat, maka kita akan kesulitan untuk move on. Kita akan stag dan tidak melangkah untuk bertindak atas pilihan yang kita buat.
4. Jalani pilihan dengan ikhlas dan rasa syukur
Nah, jika tidak membandingkan, apa yang akan kita lakukan? Ya melakukan keputusan. Alih-alih energi kita dihabiskan untuk memikirkan apa yang tidak kita pilih, lebih baik jika kita fokus menjalani pilihan yang kita sudah putuskan.
Demikian cara mengatasi kecemasan akibat over antisipasi. Semoga bermanfaat.
Apakah Kamu punya cara atau trik lain untuk mengatasi kecemasan akibat over antisipasi?
3 responses to “Mencegah Kecemasan Akibat Over Antisipasi”
[…] hanya bisa dilihat atau dirasakan ketika pilihan ditentukan. Ini yang disebut over antisipasi.Baca selanjutnya…if (typeof(addthis_share) == "undefined"){ addthis_share = […]
[…] obsesif akan membuat hidup tidak tentram. Orang obsesif akan dipenuhi dengan satu perasaan, yaitu cemas yang over antisipatif. Selain itu, kita dapat menyusahkan orang lain, karena kita menetapkan segala hal atas kesempurnaan […]
[…] bagaimana kita bersikap dan bertindak (baca juga tulisan tentang kecemasan antisipatif di sini). Prinsip penjelasannya sama dengan law of attraction. Seluruh molekul pada tubuh kita, emosi, […]