Tantangan dalam Membudayakan Membaca Pada Anak
December 5, 2019 . by rudicahyo . in Pendidikan . 0 Comments
Membaca adalah salah satu cara untuk mendapatkan informasi sebagaimana cara yang lainnya, seperti mendengar dan melihat atau nonton. Tapi kenapa membaca begitu penting? Karena sebagian besar asupan informasi yang terstruktur adalah berupa teks. Tapi kenapa kita masih belum membudayakan membaca? Apa tantangan dalam membudayakan membaca pada anak?
Belakangan ini, Selasa 3 Desember 2019, telah dirilis skor dari Programme for International Student Assessment (PISA). Data hasli asesmen menunjukkan bahwa skor membaca Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 negara, skor matematika berada di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Sebuah posisi yang cukup rendah dibandingkan dengan rasion jumlah negara yang berpartisipasi dalam asesmen. Kali ini mari kita fokuskan pada skor membaca, karena tulisan ini memang akan ditujukan untuk menyoroti budaya membaca.
Berbicara tentang budaya, berarti sedsang membahas cerita panjang kehidupan, mengingat budaya itu tidak terbentuk hanya sekali bertepuk tangan. Kalau dibilang budaya mebaca negara kita rendah, betul memang. Tapi mungkin kita perlu menyadari lebih dulu, bahwa yang dimaksud dengan membaca di sini adalah kesenangan membaca, bukan sekadang bisa membaca.
Sejak kecil kita diajari (kalau tidak disebut drilling) untuk membaca, agar kita bisa membaca. Ok, upaya ini rata-rata memperoleh hasil yang diharapkan, yaitu anak-anak bisa membaca. Tapi apakah dari hasil belajar itu juga berdampak pada kesenangan membaca anak? Kesenangan membaca yang dimaksud adalah antusiasme untuk melakukannya.
Antusiasme bisa dibilang adalah produk dari proses, dalam hal ini proses belajar membaca. Jika proses belajarnya memaksa anak untuk mencapai target orangtua atau seseorang di luar dirinya, berarti anak melakukannya lebih karena didorong oleh motivasi eksternal. Seperti yang kita tahu, motivasi eksternal mempunyai dampak yang instan tapi tidak bertahan lama. Belum lagi jika dalam proses belajar membaca disertai dengan tuntutan dan tekanan, maka sudah dapat dipastikan prosesnya menjadi tidak menyenangkan bagi anak. Hal inilah yang membuat anak bisa membaca tapi tidak suka membaca, karena membaca merupakan pengalaman buruk yang traumatik.
Untuk membalikkan kondisi ini menjadi budaya baru, yaitu budaya membaca, sekali lagi saya bilang, bukan seperti membalik telapak tangan. Sebelum membicarakan detil-detil teknis untuk membuat anak menyukai membaca, mari kita kembali lagi kepada diri kita sendiri. Bukankah kata A’a Gym diawali dari sendiri (selain dari yang kecil dan dari sekarang). Kita lihat diri kita, apakah sudah sesenang itu untuk membaca. Jangan-jangan kita yang menginginkan anak menyenangi membaca, belum suka membaca. Saya teringat seorang ibu dalam sesi parenting yang mengeluh bahwa anaknya tidak menyukai membaca. Si ibu sudah bersusah payah menyuruh membaca, tapi anak tetap tidak melakukannya. Saya cuma bertanya kepada si ibu, apakah ia di rumah juga suka membaca? Tahu sendiri jawabannya.
Berdasarkan pengalaman tersebut, ada semacam gaya berpikir yang menghendaki semuanya serba instan. Orangtua menginginkan anaknya segera menjadi penyuka membaca sementara cara yang diterapkan untuk membudayakan membaca tidak jauh berbeda dengan cara ketika mengajari membaca jaman dulu. Anak disuruh membaca, tetapi di rumah (juga sekolah mungkin) tidak dibangun atmosfir yang menyenangkan dalam membaca. Aktivitas membaca kembali menempati posisinya yang lama, yaitu sebagai paksaan atau keharusan.
Ternyata cara suruh baca ini juga dilakukan oleh sebagian orang sebagai bentuk reaksi akan skor membaca anak bangsa yang rendah dibanding negara lain. Semua langsung kepanasan dan lupa bahwa yang akan dibangun adalah sebuah budaya, bukan sekadar prakarya. Tidak jarang cara suruh baca timbul dari bawah sadar karena saking lamanya kita sudah terbiasa melakukan pendekatan tersebut, disamping juga karena keinginan instan sebagai bentuk reaksi atas data kemampuan baca. Akibatnya, menyuruh membaca maupun disuruh membaca sama tidak enaknya, sama beratnya.
Sekarang kita lilhat dari sisi objeknya, yaitu bahan baca atau informasi. Mari kita coba awali dengan pertanyaan, untuk apa sebenarnya kita meminta anak untuk membaca? Untuk mendapatkan informasi dan mengembangkan pengetahuan yang pada akhirnya membangun keterampilan? Saya yakin jawaban ini hanya retorika belaka, karena kebanyakan anak mengawali ‘karier membaca’nya karena mata pelajaran. Anak-anak diharuskan bisa membaca karena dibutuhkan untuk menuntaskan bangku sekolahan, agar mereka adaptif terhadap buku-buku tesk yang diwajibkan. Apakah penentuan bahan baca yang dipaksakan jadi modal yang baik untuk membudayakan membaca pada anak? Silahkan direnungkan.
Berbicara tentang objek baca, kita juga perlu fair dengan berbagai sumber informasi. Berbicara tentang sumber informasi, kita punya alat indera bahkan intuisi untuk berimajinasi. Semua itu adalah jalan asupan informasi untuk membangun pengetahuan yang kita miliki. Artinya, kita perlu berpikir terbuka bahwa informasi teks sekarang sudah semakin mendapatkan banyak saingan. Internet telah menyajikan berbagai informasi audio visual yang membuat anak tinggal berbaring santuy untuk menerima informasi. Kita perlu menyadari varian sumber informasi tersebut, sehingga kita paham tantangan dalam membangun kebiasaan membaca pada anak. Menyadari varian sumber informasi bukan berarti memusuhi sumber informasi non-teks. Kita perlu fair dengan semua itu, dan menyadari tantangannya. Sebenarnya berbicara tentang preferensi belajar atas bentuk asupan informasi yang sesuai juga merupakan modal untuk membudayakan membaca pada anak. Tapi untuk ‘how’ nya akan kita bahas di tulisan yang berbeda.
Demikian sehelai refleksi buat kita semua, agar kita menyadari tantangan dalam membudayakan membaca pada anak. Tunggu tulisan berikutnya, tentang cara membudayakan membaca pada anak ya..
Artikel tentang Pendidikan Lainnya:
- Seperti Apakah Perubahan Diri Kita setelah Belajar?
- Sebagai Guru, Sudahkah Kita Berdiri Di Atas Sepatu Siswa?
- Bukan Stratifikasi, tapi Diferensiasi Pendidikan
- Bagaimana Prinsip Memilih PAUD untuk Anak?
- Berhala Sistemik Dunia Pendidikan
- Apakah Membacakan Buku Sejak Dalam Kandungan Akan Membuat Anak Gemar Membaca?
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- Kenapa Anak Kita Mogok Sekolah?
- Pendidikan Kita Menciptakan Jarak dengan Kehidupan?
- Matematika, Persoalan Epistemologi atau Etika?
- Memilih Sekolah untuk Anak: Antara Kualitas, Gengsi, dan Kemampuan Keuangan
- Profesi Guru, Antara Idealisme dan Industri Pendidikan
- Pendidikan Karakter dan Kebahagiaan Murid
- Cara Tepat Mengatur Penggunaan Gadget pada Anak
- Apakah Kamu Mendidik atau Mendikte?
- Pengembangan Diri yang Paling Murni
- Makna Belajar, Mana yang Lebih Utama, Kualitas atau Jumlah?
- Pelajaran Berharga dari Film Soekarno
- Bagaimana Memberikan Pendidikan Seks yang Sesuai untuk Anak?
- PENDIDIKAN Kita Melestarikan Budaya Verifikasi Benar dan Salah?
- Warisan Unas: Ketika Kejujuran Menyisakan Penyesalan
- Pendidikan dan Sikap terhadap Tantangan Kerja
- Anak Anda Mogok Sekolah? Mari Kita Coba Mengatasinya!
- Pola Perilaku Baru dalam Belajar Sebagai Dampak Teknologi Informasi
- 5 Alasan Fundamental Kenapa Membudayakan Membaca pada Anak Sangat Penting?
- Kompetisi Ego Mengaburkan Keselarasan Orangtua dan Anak
- Daily Parenting, Rugi Jika Tak Memiliki Buku Ini
- Pro Kontra Penghapusan Status RSBI
- Apa Catatan yang Harus Diperhatikan Jika Guru Menghukum Murid?
- Ujian Nasional (Unas), Harga Mahal Sebuah Kejujuran
- Apakah Pendidikan Kita Sudah Kontekstual?
- Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?
- Mengembalikan Keseleo Pendidikan
- 6 Prinsip Penyelarasan Tugas untuk Menjaga Motivasi di Masa Transisi
- Menghilangkan Keunikan Anak dengan Diksi 'Lebih Unik'
- Pemimpin itu Pendidik
- Bolehkah Guru TK Mengajari Membaca?
- Kenali Pengujimu, Persiapkan Ujian Skripsimu!
- Pay It Forward: Dengan Inspirasi, Guru Membuat Perubahan
- Jati Diri Anak Terkubur oleh Determinasi Orang Dewasa
- Perlukah Anak Melakukan Les Privat Selain Belajar di Sekolah?
- Ingin Belajar Efektif? Jangan Menggunakan Cara Kerja Foto Kopi!
- Menjadi Guru adalah Jalan Pedang
- Belajar Hafalan, Membentuk Generasi 'Foto Kopi'
- Bagaimana Memelihara Imajinasi Anak Tetap Menyala?
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- Film Rekomendasi untuk Hari Guru
- Bagaimana Membangun Budaya Membaca pada Anak?
- Pendidikan Indonesia di Nomor S(ep)atu
- Kenapa Anak Lebih Suka Membaca atau Mengoperasikan Angka?
- Pembubaran RSBI Wujud Kemerdekaan Pendidikan
- Tiga Cara Meningkatkan Motivasi dari Dalam Diri