Belajar itu mengubah stimulasi menjadi informasi, merajut informasi menjadi pengetahuan, dan akhirnya pengetahuan bertransformasi menjadi ilmu atau penciptaan. Begitulah cara belajar efektif. Ingin seperti itu, jangan belajar seperti cara kerja foto kopi!
Kemarin (pakai banget) bidang akademik mengumpulkan para dosen pembimbing thesis dan praktikum mahasiswa magister profesi. Senang bisa bertemu dengan para mahasiswa yang selama ini jarang banget ketemu, dan hanya bertemu saat pihak kampus mengundangnya, disertai warning atas batas waktun studi tentunya. Apa yang bikin senang?
Bukan soal kangen-kangenannya, karena sebagian bimbinganku adalah mahasiswi hehe. Bukan, bukan itu. Salah satu yang bikin senang adalah terjadinya interaksi bermakna. Kebermaknaan ini muncul karena obrolannya bisa seperti mosaic, ngalor ngidul kemana arah angin membawa. Tapi sebenarnya bukan obrolan yang tak tentu arah. Ini adalah obrolan yang punya visi, yaitu bagaimana memudahkan para mahasiswa menyeleaikan studi, terkhusus menyelesaikan thesis dan praktikum mereka.
Saat obrolan itu, saya sebagai pembimbing bisa membicarakan apapun, asalkan hal itu berkontribusi pada penyelesaian thesis mereka. Mulai mengobrolkan isi dari thesis atau praktikum mereka, sampai hanya sekadar memberikan motivasi, agar keyakinan mahasiswa tumbuh kembali. Bahkan ada juga yang masih perlu mengingatkan saya tentang thesis atau kasus dalam praktikumnya, karena sudah terlalu lama tidak bimbingan.
Atmosfir obrolan bagi saya sangat berenergi, terlepas ada satu atau dua mahsiswa yang menganggap moment tersebut sebagai saat-saat yang menghantui. Obrolannya memang harus berenergi, agar tidak menjadi teror bagi mahasiswa. Agar mereka yakin kembali dengan dirinya. Dan salah satu obrolan yang menarik adalah tentang cara belajar.
Salah seorang mahasiswa saya ingin berganti salah satu konstruk yang ingin diteliti, hanya karena tidak ada aplikasi yang siap pakai dari konstruk tersebut. Jadi, dia meneliti sebuah metode, ingin diuji cobakan. Tapi dia hanya menemukan teorinya saja, tidak ada modul atau panduan untuk aplikasinya. Nah, karna itulah dia mutung, ingin mengubah variabel yang diteliti.
Pada kesempatan lain, seorang mahasiswa satunya lagi mengajak ngobrol tentang bagaimana belajar. Yang kita bicarakan waktu itu adalah tentang mengubah cara berpikir yang ala foto kopi menjadi cara belajar efektif. Cara belajar foto kopi ini bolehlah disebut sebagai cara berpikir referensif. Artinya, kita menggunakan referensi dan kemudian menggunakan kembali. Referensi tersebut tidak dikelola sehingga terjadi tahap berikutnya yang lebih tinggi, yaitu transformasi. Informasi yang masuk, seharusnya dikelola kembali. Sudah sewajarnya demikian untuk level mahasiswa S2. Makanya itu, yang mereka kerjakan adalah thesis, bukan sekadar skrip.
Jika kedua obrolan di atas dihubungkan, maka mahasiswa yang mandeg karena tidak menemukan modul aplikasi, berarti berhenti hanya pada cara berpikir referensif. Jika panduan aplikasi tidak ditemukan, seharusnya ia mengelola teori yang sudah ia miliki, apalagi teorinya sudah sangat komplit. Ia perlu menransformasi teori tersebut untuk menjadi aplikasi. Nah, saya menyadari bahwa kemampuan untuk ini masih kurang pada diri mahasiswa. Mereka masih berpikir cari dan kombinasi. Ini seperti cara kerja foto kopi, hanya menempelkan informasi. Jikapun berusaha untuk mengelolanya, informasi tersebut hanya dirangkai antar informasi, tidak diubah jadi pengetahuan baru. Rangkaian ini analog dengan kliping. Tentunya kita tahu, seperti apa kliping itu. Kliping itu tidak mengubah infomrasinya, tetapi hanya merangkainya.
Karena itu, diperlukan untuk beralih dari cara belajar ala foto kopi menjadi model berpikir yang transformatif, mengelola berbagai informasi untuk menjadi pengetahuan baru. Selanjutnya, pengetahuan ini menjadi bekal untuk sesuatu yang lebih aplikatif, misalnya pengambilan keputusan, pemecahan persoalan, hingga menciptakan sesuatu yang kreatif.
Nah, untuk caranya, kita akan lanjutnkan di tulisan berikutnya. Semoga pengatar ini bermanfaat!