Psychology | Learning | Parenting | Writing | Education

 

Krisis Jati Diri, Pangkal dari Semua Krisis

Agustus 25, 2015 . by . in Inspirasi (Insert) . 0 Comments

Hidup memang terfragmentasi, terpilah dalam babak dan settting ruang dan waktu. Kalau mau ingin lebih mudah melihat kondisi real-nya, tengoklah ke Indonesia. Fragmentasi itu semakin jelas ketika berbagai krisis melanda dengan berupa warna dan segala kompleksitasnya. Tapi pangkal dari itu semua adalah krisis jati diri. Percaya?

Membaca berita belakangan ini, yang lagi seru adalah trend devaluasi mata uang. Rupiah semakin tergencet oleh dolar. Ketika negara-negara besar memainkan nilai mata uangnya, kita gelabakan mengikuti alurnya. Jika itu adalah sebuah alur cerita, maka plotnya sudah bercampur baur tak keruan, maju mundur, putar balik tak menentu. Kita terombang-ambing seperti bidak yang dimainkan oleh para grand master yang menguasai perekonomian dunia.

Judul berita, semisal “Selamatkan Rupiah.. blah blah….”, seolah memang rupiah butuh diselamatkan. Benarkah? Siapa yang seharusnya menyelamatkan rupiah? Apakah kita lantas latah, ujung-ujungnya menaikkan tensi tuntutan kepada pemerintah?

Berbicara tentang siapa yang perduli pada perekonomian dan nilai tukar, saya tergelitik dengan tulisan Zen R.S. di Jawa Pos hari ini (24/8). Zen menemukan fenomena yang mungkin sudah mengakar serabut, yaitu ramainya lawatan anak-anak muda ke bioskop untuk menyaksikan sederatan film Hollywood, Inside Out, Hitman: Agent 47, Mission Impossible Rogue Nation, Child 44 dan Fantastic Four. Bagaimana dengan film anak negeri, Battle of Surabaya? Sampai sejauh ini, dengan moment 70 tahun Indonesia merdeka, hanya ada 31.620 orang yang menontonnya. Ketika pembeli tiket pada antri untuk menyaksikan film Hollywood, 30 menit jelang tayang Battle of Surabaya, hana ada 3 orang saja yang menanti jam tayangnya. Puncaknya, sampai pada eksperimen pertanyaan yang diajukna oleh Zen kepada para remaja yang nongkrong di mall soal nilai tukar rupiah yang terus melemah. Apa tanggapan mereka? “Oh ya?”, begitulah rata-rata responnya. Selanjutnya mereka kembali larut dalam aktivitasnya.

Berbicara tentang keterpurukan ekonomi dan kepanikan atas nilai tukar rupiah, lebih dari sekedar berbicara tentang isi perut. Buktinya para remaja itu sdah melewati fase berpikir akan “mau makan apa saya?”. Pertanyaan mereka sudah beranak kepada, “makan dimana?”, yang tentunya menggambarkan kenaikan level dasar pemenuhan kebutuhan, dari urusan perut kepada urusan gengsi. Lalu siapa yang harus peduli. Sementara negeri ini mengalami resesi, di sisi lain para anak muda sedang berburu gengsi. Ini lebih dari sekedar krisis ekonomi, tetap ini adalah krisis jati diri.

Kita tidak mengambil peran dalam menentukan ekskhalasi, tetapi lebih tunduk dan terobang-ambing oleh permainan negara-negara pengendali. Kita belum menjadi pengendali. Kita ada di zona bidak yang diseret kesana kemari. Untuk itu, kita butuh bangsa yang kuat secara mental, berkarakter, serta memiliki jati diri.

Ada sebuah cerita lain, yang mungkin bisa melengkapi fragmen kehidupan di tulisan ini. Beberapa hari ini, selama 14 hari penuh, saya menggawangi pelatihan penanaman nilai unggul di sebuah institusi milik negeri. Ada pertanyaan menarik saat materi berkenaan dengan value integritas. “Kalau kita ngasih kue lemper, mungkin hal itu berharga bagi seseorang yang kita kasih. Tapi bagaimana jika ada orang lain yang ngasih pizza kepada orang yang sama? Apakah lember kita masih dianggap berharga?”

Tentang lemper dan pizza, saya sendiri sudah pernah menulis tentang niat berbuat baik dan konsisten terhadap niat tersebut. Jika hari ini kita ngasih kue lemper kepada orang yang lapar, mungkin nilai lemper kita akan tinggi. Besok, kita ngasih kue lemper lagi, tetapi orang yang kita kasih sedang tidak lapar, maka nilai kue lemper kita akan berbeda. Besoknya lagi, kita ngasih kue lemper kepada orang yang sudah kenyang karen baru saja makan pizza, bagaimana nilai kue lemper kita? Berbicara tentang nilai kue lemper, mungkin berubah-ubah keadaannya. Karena itulah, kita masih memiliki kemungkinan untuk memberikan kue lemper kepada orang yang lebih membutuhkannya. Kondisi berubah, tindakan bisa berubah. Tapi ada sesuatu yang (mungkin) tidak berubah, apa itu? Ya, niat dan tindakan kita untuk memberikan kue lemper. Kepada siapapun, apapun anggapan orang, niat dan tindakan memberi kue lemper tetap bisa dilakukan. Kita tahu niat kita baik dan tindakan kita pun demikian. Itu tidak perlu diubah. Pemahaman kita atas sesuatu yang baik dan konsisten melakukannya, itulah integritas. Apakah anak muda kita memiliki itu?

Dunia ini memang panggung sandiwara. Setiap orang memiliki peranan. Tiap orang berada dalam panggungnya sendiri. Seperti para remaja di mall yang kebetulan bertemu Zen, pasti berbeda apa yang dipikirkan dan dilakukan dengan pemerintah yang sedang berjibaku dengan kebijakannya. Setiap orang peduli dengan urusannya sendiri-sendiri. Mereka tidak sadar bahwa kentut mereka dapat mengubah susunan atmosfir (meminjam anekdot dari seorang teman). Kepedulian kita sama punya dampak dengan ketidakpedulian kita. Ketika anak muda tidak peduli, maka efeknya akan sama dengan ketika anak muda peduli. Pilih mana, jika kita tahu bahwa dampaknya bisa positif dan negatif? Tentu pilih yang berdampak positif, bukan? Apakah kita akan berhenti memberikan kue lemper dan sibuk berpikir akan memebrikan pizza yang tidak pernah kita punya? Setiap orang punya keunggulan. Dan apakah kita akan nonton film Hollywood atau nonton film dalam negeri dengan judul ala Hollywood (berbahasa Inggris)? Jika kita berintegritas, maka kita tahu kemana mengarahkannya.

Tag: , ,

Artikel tentang Inspirasi (Insert) Lainnya:

by

Creative Learning Designer | Parenting Consultant | Writing Coach


 

Post a Comment

Your email is never published nor shared. Required fields are marked *

*
*

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>