Membongkar Kompleksitas Ikhlas dari Kehidupan Sehari-hari
Mei 28, 2022 . by rudicahyo . in Inspirasi (Insert), Psikologi Populer . 0 Comments
Ikhlas, kata yang mudah untuk diucapkan, namun sulit untuk dilakukan. Apalagi untuk orang-orang seperti kita yang baru taraf belajar menjadi ikhlas. Agar melancarkan kita dalam belajar ikhlas, mari kita membongkar kompleksitas ikhlas dari kehidupan sehari-hari.
Apa sih ikhlas itu?
Teknisnya, secara bahasa (etimologi) ikhlas berarti bersih hati atau tulus hati. Sedangkan secara terminologi, ikhlas itu melakukan sesuatu secara tulus, tidak berharap apapun atau imbalan dari perilaku tersebut.
Orang sering mengartikan imbalan atau sesuatu yang diharapkan ini bersifat kebendaan atau objek. Misalnya kita menolong seseorang agar orang tersebut memberikan uang, membantu tetangga dengan harapan ketika kita kesusahan nanti akan ada yang membantu, membantu mengurus jenazah tetangga agar kelak waktu kita meninggal mayat kita tidak tersia-siakan. Itu ketidakikhlasan dengan harapan kebendaan. Keikhlasan itu juga bisa dikaitkan dengan harapan terhadap sesuatu yang lebih abstrak, misalnya perhatian, dilihat orang, dipuji, diakui, dihiraukan dan semacamnya.
Ikhlas juga tentang melepaskan sesuatu. Ketika kita kehilangan benda atau orang yang kita sayangi, saat itulah berarti Yang Maha Memiliki menginginkannya untuk kembali. Nah, keikhlasan juga tentang merelakan sesuatu yang lepas dari diri kita, yang selama ini merasa milik kita, untuk pergi meninggalkan kita.
Kompleksitas Ikhlas
Ikhlas itu tidak sesederhana pengucapannya. Kita juga tidak sedang berbicara tentang betapa sulitnya melakukannya. Ikhlas tidak selinear yang kita bayangkan, seperti orang yang menolong dan berharap akan ditolong, memberi berharap pemberian, namun ikhlas adalah soal rasa, tentang perasaan yang mengiringi perbutan.
Kalau sudah ngomong tentang aspek internal dari diri kita, sudah mulai terasa kompleksitasnya. Mari saya gambarkan kompleksitasnya dengan contoh ini. Ada seseorang yang setiap sore mengaji atau membaca Al Qur’an. Pada saat sedang asik memabca Al Qur’an, calon mertua datang bertamu. Si tamu sudah diterima oleh ayah atau ibu kita dan mereka sedang asik ngobrol. Tak bisa dipungkiri, suara ngaji kita pasti terdengar dari ruang tamu. Jika kamu mengalami hal tersebut, mana diantara kemungkinan berikut ini yang akan muncul di benakmu?
- Aku akan mengeraskan suaraku, biar tahu kalau aku sedang mengaji
- Aku akan berhati-hati dalam mengaji, biar tidak terdengar jelek
- Aku akan melirihkan suaraku, karena malu kalau ada yang salah dan ketahuan
- Aku akan membuat suaraku tidak terdengar agar tidak terkesan pamer
- Aku akan berhenti mengaji sampai calon mertua pulang, agar selamat dari rasa pamer (riya’)
Hayo, apa yang akan muncul di pikiranmu? Adakah salah satu diantara pilihan di atas (atau yang senada dengan itu)? Atau jangan-jangan punya pemikiran yang lain? Coba Kamu tulis di kolom komentar ya..
Apapaun yang terpikirkan, jika kita memilih salah satu diantara kalimat-kalimat di atas, maka keikhlasan kita sedang diuji. Bahkan untuk pilihan kalimat terakhir yang terdengar lebih syahdu sekalipun, keikhlasan kita masih belum cukup tinggi. Dengan pilihan kalimat terakhir, perbuatan baik kita yang sudah terbiasa kita lakukan, bisa berhenti gara-gara calon mertua. Nah, apakah kita bisa menyebutnya ikhlas dengan level yang tinggi?
Membongkar Kompleksitas Ikhlas dari Kehidupan Sehari-hari
Agar lebih memudahkan dalam memahami dan mengelola ikhlas dalam diri kita, mari kita membongkar kompleksitas ikhlas dari kehidupan sehari-hari. Berikut akan saya berikan contoh-contoh berdasarkan pengalaman saya.
Saya punya teman yang aktif mengupdate status di facebook. Dia suka bersepeda untuk kebutuhan olahraga, untuk kesehatan. Suatu ketika dia update status tentang rute perjalannya. Dia menceritakan tentang betapa jauhnya dan terjalnya perjalanan yang ditempuh. Termasuk rute menanjak dan mendaki yang berkelok-kelok. Tak ketinggalan juga dengan dibumbui cerita teman-temannya yang pada merasa kelelahan, padahal mereka membawa bekal minum dan makanan. Sementara dia tetap bisa bertahan dengan semangatnya. Di kalimat terakhir dia mengatakan, “Alhamdulillah saya tetap bisa semangat dan kuat, padahal hari ini adalah Hari Kamis, saya sedang… ah nanti dikira riya'”.
Sebagian besar pembaca tentu paham maksud dari kalimat yang tidak terselesaikan tersebut. Ya, Hari Senin dan Kamis adalah hari dimana sebagian umat muslim/muslimah menjalankan ibadah puasa sunnah. Teman saya yang menulis status di faceboot tersebut, tentunya dengan sadar sebagai penulisnya. Metafisikan kehadadirannya dia ada dalam tulisannya. Kehadirannya dia tersebut berinteraksi dengan pembaca. Nah, pengait interaksi tersebut bisa berupa keinginan berbagi informasi, harapan mendapatkan perhatian, diakui kekuatannya, atau dipuji ibadahnya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Ada sedikit perbedaan dengan ilustrasi yang saya berikan tentang orang yang membaca Al Qur’an di atas. Pembaca Al Qur’an bisa saja memilih menghentikan membaca untuk menyelamatkan dari pamer. Namun di saat yang sama, ia menghentikan perbuatan baik hanya karena calon mertua. Sementara teman saya tersebut tidak melanjutkan kalimat di status facebook-nya untuk menyelamatkan dari riya’. Nah masalahnya, nilai kebaikan dalam mengupdate status berbeda dengan kebaisaan membaca Al Qur’an tadi. Nilai informasi yang disebarkan juga berbeda dengan membaca Al Qur’an yang dilakukan pemuda tadi. Padahal, teman saya tersebut masih punya pilihan antara menulis dan tidak menulis status, atau pilihan antara hanya membagian informasi tentang aktivitas bersepeda saja atau dengan disertai cerita tentang kekuatannya meskipun berpuasa.
Baca juga tulisan terkait:
- Mempertanyakan Kekuasaan Tuhan
- Menyatukan Hablumminallah dan Hablumminannas
- Agar Nikmat Melimpah, Kita Membutuhkan Rasa Syukur yang Sesungguhnya
Sekarang kita beralih kepada situasi yang lain, yaitu tentang kehilangan. Saya teringat saat Roarson, kucing peliharaan yang dirawat sejak kecil, hilang entah kemana. Atau ketika anaknya Roarson yang sudah besar dan gimbul-gimbul meninggal tertabrak mobil tetangga.
Pada saat ingin membuat video yang isinya curhat tentang kehilangan kucing dan bagaimana berada dalam situasi ketidakpastian, yaitu nasib si kucing (ini beda dengan sudah jelas meninggal atau dirawat orang lain). Awalnya dibayang-bayangi oleh perasaan antara ikhlas dan tidak ikhlas kehilangan kucing kesayangan. Tapi pada akhirnya saya melanjutkan bikin video curhat dengan meluruskan kembali niatnya untuk membahas tentang kehilangan sebagai ketidakpastian, dengan menitikberatkan pada bahsan tentang keilmuan psikologi dan dihubungkan dengan situasi pandemi saat itu. Pada saat yang sama, saya berusaha berdamai dengan kehilangan tersebut.
Begitu juga ketika anaknya Roarson (pada akhirnya Roarson pulang setelah hilang 6 hari) yang mulai bertumbuh dewasa, meninggal tertabrak mobil tetangga. Saat menyaksikan kucing kesayangan menggelepar-gelepar dan melihat wajah anak-anak yang menatap detik-detik meninggalnya si kucing kesayangan mereka, saya merasa terenyuh. Tetangga saya sempat melihat ekspresi wajah sedih saya dan dia panik.
Suatu ketika tetangga saya ini menelpon, menanyakan apakah saya ada di rumah. Saya sudah berprasangka positif bahwa tentangga saya ini akan mengganti atau membayar kompensasi atas meninggalnya si kucing. Saya sudah mengatakan lewat pesan whatsapp, agar tetangga saya tersebut tidak memikirkan hal tersebut. Dalam hati saya sudah tidak terpikirkan hal itu, kecuali hanya ada kenangan-kenangan lucu bersama si kucing. Tapi sedikitpun tidak ada sakit hati atau dongkol kepada tetangga saya.
Sampai di malam harinya, tetangga saya mengetok pintu rumah dan membawa seekor kucing yang hampir mirip dengan kucing saya yang meninggal. Saya katakan lagi kepada tetangga, bahwa saya sudah tidak memikirkan itu. Dan hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi hubungan saya dengan dia. Dia tetap mengatakan kalau merasa tidak enak. Saya jelaskan lagi, bahwa kematian si kucing itu sudah kehendal Alloh. Kalau saya protes dengan cara dongkol atau membenci tetangga, itu artinya saya tidak terima dengan ketentuan Alloh tersebut.
Kompleksitas ikhlas pada konteks kucing yang hilanga tau meninggal ini adalah dalam hal merelakan kehilangan. Saat melihat anak-anak merasa sedih melihat kucingnya meninggal, saat itu dalam diri saya berupaya menata hati. Saya segera menghilangkan kesempatan dramatis dari peristiwa tersebut dengan segera mengurus jenazah si kucing. Bahkan tetangga saya saya minta untuk segera berangkat bekerja saja, karena saat itu ia memang terburu-buru mau berangkat kerja. Saya seketika menghilangkan situasi dramatis stersebut dan mengalihkan kepada tindakan yang realistis, yaitu mengurus jenazah si kucing. Setelah terkubur, berarti si kucing sudah tidak ada. Nah, yang paling realistis, menurut Kamu bagaimana menyikapi sesuatu yang sudah hilang dan tidak mungkin kembali? Ya, sudah menatap hari-hari berikutnya.
Jadi begitulah tentang ikhlas, bukan perkara sederhana. Ada kompleksitas di dalamnya. Paling tidak, dengan kita membongkar kompleksitas ikhlas ini, kita menjadi lebih sadar dalam pengelolaan diri ketika situasi yang menguji keihlasan hadir dalam kehidupan kita.
Tag: ikhlas, psikologi, religius, spiritual