Orangtua lebih sering menggunakan cara berpikirnya ketika berdialog denan anak. Ketika anak menyampaikan pemikiran atau gagasannya, orangtua lebih sering mengaggapnya tidak masuk akal. Padahal ketidakmasukakalan orangtua bisa berbeda dengan akal anak-anak. Hati-hati, memaksakan cara berpikir orangtua dapat melemahkan imajinasi anak.
Anak itu ajaib, kadang ia mengekspresikan pikirannya yang tidak sesuai dengan yang kita pikirkan. Karena tidak sesuai dengan yang kita pikirkan, kita menghakiminya sebagai tidak lazim. Kita berpikir bahwa pikiran kita sama dengan pikiran seluruh orang di dunia. Sehingga dengan mudah kita berpikir, anak kita terkategori nyeleneh dalam pendapatnya tersebut.
Misalnya saja seperti yang sering dikatakan Bintang (8 tahun), anak saya, “Semua benda punya warna, semua benda punya tinggi, semua benda punya berat”. Perkataan Bintang ini mengingatkan saya pada beberapa hari yang lalu ketika ia mengatakan “Bahkan putih itu adalah warna. Transparanpun juga warna”. Ketika kita menggunakan cara berpikir kita, bisa saja kita bilang “Transparan itu kan tidak kelihatan?!”. Sebenarnya saya ingin menantangnya dengan kalimat ini. Karena untuk tujuan menguji pendapatnya, bisa saja kita menantangnya dengan pernyataan seperti ini. Yang penting tidak bertujuan untuk mematahkan pendapatnya, hanya ditujukan agar hipotesisnya dapat teruji. Untuk tindakan yang tepat agar anak tetap mengembangkan pemikirannya, kita akan bahas pada artikel berikutnya.
Jika kita mematahkan pendapatnya karena kita menganggap tidak lumrah, maka anak suatu saat akan sulit menerima pengetahuan atau ilmu yang ternyata didasarkan pada imajinasinya yang dulu pernah kita patahkan. Kembali ke contoh pendapatnya Bintang. Jika kita coba untuk berpikir dari sudut pandang Bintang, dan membuatnya dapat berargumentasi dengan logikanya, maka suatu saat ia akan lebih mudah memahami bahwa ciri dari zat adalah memiliki massa dan menempati ruang. Sebaliknya, jika kita menindas pemikiran atau imajinasi anak, maka dampaknya adalah:
1. Anak takut berpendapat
Jika pendapat yang berdasarkan pemikiran anak sering kita patahkan, maka ia akan takut berpendapat. Sebenarnya bisa saja ia tetap ekspresif dengan mencari teman untuk mengungkapkan pendapatnya. Tapi jika kita bandingkan lagi intensitas relasi orangtua dan teman, maka lebih sering anak bersama orangtua. Maka anak merasa jalur untuk mengemukakan gagasan menjadi sempit. Jika ini dibiasakan, maka ia akan lebih memilih untuk tidak berpendapat. Jika dia terbiasa memunahkan gagasannya sendiri, ia juga akan lebih nyaman atau memilih tidak berpendapat.
2. Anak tidak mengembangkan imajinasinya
Ketika pemikiran anak yang berdasar pada imajinasinya kita cegah, maka anak akan mengikis imajinasinya sedikit demi sedikit. Pernyataan yang mematahkan dari orangtua akan membuatnya menguatkan sisi normatif, yaitu berpegang pada benar salah, boleh dan tidak boleh. Ketika pematahan imajinasi dilakukan secara intens, maka ketidakbolehan berimajinasi juga menjadi intens.
3. Anak kesulitan menerima pengetahuan
Jika pendapat anak yang berdasarkan pada pemikiran atau imajinasinya sering dipatahkan, maka suatu saat ketika ia menerima pengetahuan yang berkaitan dengan pendapat tersebut, maka saat itu juga pikirannya akan menolak. Penolakan ini terjadi otomatis, karena anak tidak akan merasa menolaknya. Anak hanya merasa asing atau tidak terbiasa dengan pengetahuan tersebut, karena dasar yang menjadi memudahkan penerimaannya sudah dihilangkan oleh orangtuanya. Seperti contoh tentang sifat zat yang sebenarnya sudah dikemukakan oleh Bintang sebelum ia sama sekali belajar IPA atau Fisika sama sekali.
Demikian, sedikit tulisan yang dapat kita bagi. Semoga kita menjadi orangtua yang lebih banyak memberikan kesempatan bagi anak untuk berpendapat. Ayah, Bunda, Kakak, punya pengalaman seperti ini?