Bagaimana Menjadi Orangtua yang Mengelola Larangan dan Perintah?


Anak-anak kita adalah sumber belajar untuk menyusun strategi dalam mereaksi tindakan mereka. Kita selalu dihadapkan pada perintah dan larangan atas perilaku anak. Padahal keduanya punya pengaruh yang kuat dalam membentuk pribadi anak. Rahasia parenting kali ini akan membahas, bagaimana kita mengelolanya? Simak sharing pengalaman berikut ini.

Sumber Gambar: @rudicahyo instacanv.as

Beberapa hari ini Bintang semakin variatif saja tingkah lakunya. Beberapa diantaranya kadang nyerempet bahaya juga, meskipun itu masih persepsiku sebagai orangtua. Namun demikian, aku tidak segera melarangnya, tetapi masih sering memerintahnya. Perintah ini bukan soal intruksi searah, tetapi masih ada hubungannya dengan pencegahan diri dari melarang. Misalnya saja Bintang dekat kompor, bahkan memainkan tombolnya, aku tidak melarang dia untuk ngotak-atik kompor. Aku memintanya melakukan hal lain, misalnya bermain di ruang tengah. Ini juga masih diiringi dengan penjelasan akan kemungkinan bahayanya kompor.

Bicara soal penjelasan, kemungkinan besar Bintang tidak mengerti. Bintang baru 1,7 tahun. Tapi aku yakin dia tidak harus mengerti murni dari kata-katanya. Keseluruhan aspek komunikasi yang memerantarai aku sebagai orangtua dan Bintang, pasti punya efek buat dia. Apalagi Bintang sudah menunjukkan kecerdasan emosional yang baik. Ia bisa merasakan emosi dari omongan kita. Bahkan ia bisa mengubah sikap dan perilaku hanya dengan mengamati reaksiku atau ibunya. Karena itulah aku tetap berbicara padanya.

Hanya saja, Bintang jago juga ngetrik. Ketika aku atau ibunya panggil “Bintang…!” dengan suara agak meninggi, dia bisa saja langsung menghindar atau meninggalkan tempat. Tapi itu bukan berarti ia tidak mengulangi lagi. Selain cara itu, Bintang kadang juga mendahului aku atau ibunya dalam bereaksi atas sesuatu yang dianggap kesalahan. Misalnya air minumnya tumpah, ia langsung mendahului marah-marah atau memberi tahu bahwa airnya tumpah. Ia memberi tahu dengan nada protes agar air di lantai dibersihkan atau biar ia tidak disalahkan. Tuh kan, keren hehe.

Nah, perilaku yang seperti ini membuatku berada dalam tarik ulur antara perintah dan larangan. Kedua-duanya, dalam porsi yang terlalu sering atau intensitas yang tinggi, tetap punya dampak yang tidak baik. Namun sebelum membahas tentang ‘how to’ nya, kita ikuti dulu yang berikut ini.


Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya

Pasti pernah tahu ungkapan yang jadi sub judul di atas, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Apa artinya hayo? Apa masih pada ingat dengan pelajaran Bahasa Indonesia-nya?

Betul, arti dari ungkapan tersebut adalah soal kemiripan anak dengan orangtuanya. Buah menggambarkan anak dan pohon adalah orangtuanya. Anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan orang tertentu, maka akan punya karakter dan gaya seperti orang yang dekat dengannnya.

Kita tidak sedang membahas masalah fisik. Kalau bicara soal fisik, sudah tentu orang yang langsung berhubungan secara genetiklah yang paling punya pengaruh. Tapi ini soal orang terdekat yang mempengaruhi bagaimana cara berpikir, merasa, bersikap dan bertindak dari anak.

Sebagaimana kita tahu, bahwa yang membentuk anak ada dua hal, yaitu genetik dan lingkungan. Hanya saja, selama ini secara awam kita menganggap faktor lingkungan itu sama simpelnya dengan faktor genetik. Bicara faktor genetik, jika itu ada hubungan darah, maka akan berpengaruh kepada anak, itu saja sudah cukup. Namun tidak demikian dengan faktor lingkungan. Namun demikian, tetap bisa kita sederhanakan.

Sumber Gambar: @rudicahyo instacanv.as

Lebih mudahnya, kita akan bagi pengaruh lingkungan ini menjadi dua, yaitu modeling dan konstruktif. Kedua hal ini didasarkan pada tingkat dan arah aktif-pasif antara anak dan orangtua. Modeling kita anggap anak aktif mengobservasi lingkungan dan bebas mengambil sikap atas apapun yang mereka amati. Sementara konstruktif adalah lingkungan aktif yang membnetuk anak.

Kita masih sering mencampuradukkan keduanya, modeling dan konstruktif. Biasanya yang sering terjadi, sebagaimana yang juga pernah ku pelajari dalam pelajaran Sosiologi SMA dulu, jika ada capaian yang baik, maka orang akan mengalamatkan hasil itu sebagai akibat dari konstruksi orangtuanya. Tapi jika ada hal buruk, maka orangtua atau pendamping anak buru-buru mengalamatkan tuduhannya pada lingkungan. Artinya, efek buruk itu karena anak-anak belajar dari lingkungan. Kira-kira begitu tidak?

Karena pencampuradukan inilah maka kita beranggapan bahwa anak dibentuk karena pengamatannya terhadap lingkungan. Padahal yang terjadi, secara tidak sadar, kita lebih banyak mengonstruksi. Nah, konstruksi biasanya kita lakukan dengan dua cara umum, yaitu memerintah dan melarang.

 

Apa Efek Perintah dan Larangan?

Perintah dan larangan tentu saja punya sifat yang berbeda dengan modeling. Kalau tadi sedikit kita singgung bahwa modeling memungkinkan anak mengamati secara bebas dan mengambil sikap atas amatannya tersebut, konstruksi lebih dikendalikan oleh orangtua atau pendamping anak. Artinya, anak lebih pasif dalam model konstruktif. Karena pasif, maka dengan sendirinya pilihan-pilihan dalam kehidupan anak terkurangi. Eh, sebenarnya pilihannya tidak berkurang, tapi akses anak untuk memilihnya yang jadi lebih sempit. jangankan akses memilih, untuk mengenali pilihannya saja sudah tidak sempat lagi.

Selain itu, perintah dan larang mengandung dua konsep besar, yaitu ‘harus’ dan ‘jangan’. Tarik ulur antara keduanya membuat anak mudah takut atau cemas dalam menghadapi kenyataan dalam kehidupannya. Jika intensitas ‘harus’ dan ‘jangan’ ini terlalu tinggi, maka anak bisa jadi tidak punya dirinya sendiri. Dalam melakukan tindakan, anak akan menimbang dan lebih sulit untuk segera bergerak. Anak akan mempertanyakan lebih dulu, apakah tindakan yang akan ia ambil lebih dekat ke ‘harus’ atau ‘jangan’. Jika ini terjadi, maka keseluruhan kehidupannya juga akan mengikuti pola ini.

Namun demikian, jika kita memilih untuk menggunakan modeling sebagai cara balajar anak, maka tantangan kita adalah menjadikan diri sebagai model positif dan menginspirasi bagi anak. Nah, berarti ada tantangan positif juga buat kita untuk jadi orangtua yang bisa melakukan lebih dulu.

Sumber Gambar: @rudicahyo instacanv.as

 

Kira-kira seperti itu sharing-ku tentang pola pengasuhan (parenting) dari pengalamanku sendiri. Tentu kita sudah bisa menimbang, bagaimana sikap dan tindakan kita terhadap perilaku atau sesuatu yang terjadi pada anak. Kita bisa memilih pola asuh mana yang lebih tepat untuk anak kita.

Coba kita tengok lagi ke belakang, bagaimana selama ini kita bertindak atas perilaku ana?. Juga coba kita lihat ke depan, bagaimana selanjutnya rencana kita dalam menanggapi perilaku anak?

 

Tulisan ini juga di-posting di mosaic-learning.blogspot.com


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *