Bukan Stratifikasi, tapi Diferensiasi Pendidikan


Telah lama kita punya pola pikir mencari yang terbaik. Pola pikir ini mengantarkan kebiasaan kita yang selalu merankingkan, termasuk di dunia pendidikan. Padahal, dari sisi layanan, seharusnya kita tidak terobsesi dengan stratifikasi, tetapi beralih ke diferensiasi pendidikan.

Artikel ini terjadi diawali nonton video Malcolm Gladwell di ted.com. Judulnya, “Choice, happiness and spaghetti sauce”. Awal membaca judulnya, yang terlintas di benakku adalah unik. Iya, sebuah judul yang unik. Jadilah aku nonton video ini.

Malcolm Gladwell

Video ini masuk dalam katagori bisnis. Nah loh, apa hubungannya dengan pendidikan? Iya, kita tahu, dunia pendidikan dewasa ini juga masuk dalam katagori bisnis jasa. Sebenarnya bukan karena itu juga sih. Ya karena judulnya unik, dan ketika nonton, terlintas pikiran untuk mengaitkan dengan isyu pendidikan. Sebuah isyu lama yang tak kunjung membuat wajah pendidikan berubah.

Kembali ke presentasi Malcolm Gladwell. Oh iya, sudah pada tahu Malcolm Gladwell, belum? Orang kurus dan kribo ini adalah penulis dari buku best seller berjudul “Blink”. Pernah tahu bukunya? Tenang, aku tidak bertanya, apakah pernah membaca hehe.

Dalam presentasinya tersebut, Gladwell sebenarnya hanya cerita seorang bernama Howard Moskowitz. Beliau ini adalah seorang ahli Psikologi Fisik, ilmu psikologi yang fokus pada bidang pengukuran. Dalam perjalanan penelitiannya, Moskowitz terobsesi dengan idenya yang tak biasa, yaitu pemikirannya tentang produk terbaik. Ketika banyak perusahaan ingin menciptakan produk terbaik, Moskowitz berpikir untuk menyuguhkan variasi produk terbaik.

Salah satu eksperimen yang terkenal dari Moskowitz adalah ketika mencari tahu, apa yang paling diinginkan orang akan saus spaghetti. Dia bekerja untuk Sup Campbell saat itu. Dia menciptakan Prego, merek saus pasta. Prego bersaing dengan merek Ragu di tahun 80-an. Ragu adalah saus pasta yang mudah melekat pada pasta. Jika dituangkan akan mengendap ke bawah. Sementara Prego akan tetap diam di atas pasta. Sudah, kita tak akan membahas tentang saus pasta.

Moskowitz membuat 45 macam saus spaghetti dan membawanya ke berbagai negara. Dia mengumpulkan sejumlah besar orang untuk mencoba pasta dengan saus Prego-nya. Singkatnya, dari eksperimen yang ia lakukan, ia menghasilkan kelompok-kelompok penggemar saus spaghetti yang polos, pedas dan kental. Jenis yang terakhir adalah yang paling signifikan. Jadi selama ini, orang Amerika menginginkan saus spaghetti kental dan mereka tidak pernah mendapatkannya. Sejak saat itu, saus spaghetti kental menjadi popular. Sup Campbell mendapat 600 juta dolar selama 10 tahun dari produk saus spaghetti ekstra kental buatannya.

Ada dua hal yang bisa kita ambil pelajarannya dari sini. Pertama, pikiran kita sering tidak mengenali apa yang hati harapkan. Dalam bahasanya Moskowitz, pikiran sering tidak mengerti apa yang lidah inginkan. Karena yang pertama inilah, maka ide segmentasi horisontal dari Moskowitz menyudahi obsesi orang akan universalisme dan mengubahnya menuju kepada diferensiasi.

Orang terobsesi menciptakan standar-standar yang sifatnya universal dan menjustifikasi segala sesuatu dengan ukuran tersebut. Hasilnya, sesuatu akan dikatagorikan secara vertikal menggunakan satu standar yang di-universal-kan tersebut. Akibatnya orang atau segala sesuatu akan mengarah kepada satu puncak yang dikatakan ‘yang terbaik’.

Ternyata, model berpikir seperti ini juga terjadi di dunia pendidikan. Ketika melibat video-nya Gladwell ini, teringat sebuah video yang lain dari Ken Robinson. Judulnya “Ken Robinson Says Schools Kill Creativity“.

Ken Robinson

Dunia pendidikan kita juga sama seperti dunia industri pada umumnya, terobsesi dengan universalisme, termasuk soal standar pendidikan. Dengan standar yang tunggal, membuat kelas, ranking dan katagori-katagori orang. Dan pada akhirnya orang yang dikatakan sukses terdapat di dua ‘dunia’, yang memenuhi permintaan dunia industri dan dunia akademik. Dan dunia pendidikan berusaha memenuhi kedua permintaan itu.

Karena itu, berdasarkan pada permintaan dunia industri, lulusan yang dikatakan sukses adalah yang available untuk dunia kerja. Seorang sarjana atau lulusan pada umumnya, akan dianggap berhasil oleh orangtuanya jika (langsung/sudah) diterima kerja. Hal ini pun masih direduksi pada praktisnya kebutuhan dunia kerja, yaitu ijasah. Dengan lembaran itulah seseorang melamar pekerjaan. Bagian itulah yang menentukan seseorang bisa mengakses dunia kerja atau tidak.

Efek lain dari penekanan pada akses kerja adalah pembedaan tingkat bergengsinya mata pelajaran. Karen itulah, dimanapun di dunia ini, mata pelajaran sekolah diurutkan menjadi mata pelajaran matematika, eksak, bahasa, humaniora dan seni budaya. Kenapa? Tentu saja didasarkan pada kebutuhan dunia kerja. Karena itulah, jika ada anak yang pintar menggambar atau menari, maka orangtuanya akan berusaha menghentikannya. “Mau jadi apa Kamu nanti?”, demikian rata-rata perkataan mereka kepada anaknya.

Untuk permintaan ‘dunia’ yang kedua, adalah kebutuhan akademik. Dalam industri pendidikan, luaran puncaknya adalah profesor-profesor. Orang yang berkecimpung di dunia akademik akan berusaha mengejar hierarkhi yang terpuncak. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semaki bergengsilah seseorang.

Padahal sebenarnya, terjadi inflasi dunia pendidikan. Banyak yang berusaha mencapai puncak hierarkhi, sedangkan kebutuhan pekerjaannya tidak mengharuskan untuk itu. Akibatnya, pekerjaan yang sedianya bisa dilakukan oleh anak SMA, kini dikerjakan oleh sarjana. Pekerjaan yang bisa dikerjakan S1, di-handle oleh S2, demikian seterusnya. Hal ini juga menunjukkan betapa tidak akurnya kebutuhan praktis dunia kerja dengan dunia akademis.

Akhirnya, tulisan ini aku tutup dengan kata-kata luar biasa dari Ken Robinson,

Kita harus berhati-hati sekarang bagaimana kita menggunakan rahmat ini  (imajinasi) secara bijaksana, dan kita menghindari beberapa skenario-skenario yang telah kita bicarakan. Dan satu-satunya cara kita melakukannya adalah dengan melihat kapasitas kreatif kita dari sisi betapa kayanya mereka (anak-anak), dan melihatanak-anak kita dengan harapan yang mereka miliki. Dan tugas kita adalah mendidik mereka secara keseluruhan, supaya mereka dapat menghadapi masa depan. Kita mungkin tidak akan melihat masa depan tersebut, tapi mereka akan melihatnya. Dan tugas kita adalah membantu mereka untuk berbuat sesuatu akan masa depan itu.

dan kata-kata dari Malcolm Gladwell,

Itulah yang terakhir dan saya kira pelajaran yang paling indah dari Howard Moskowitz. Bahwa dalam mengagungkan keragaman manusia, kita akan menemukan jalan yang lebih pasti kepada kebahagiaan yang sejati,

Apa inspirasi yang ditimbulkan oleh tulisan ini untuk pendidikan Indonesia?


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *