Setiap pemimpin memiliki gambaran ideal atas organisasi yang dipimpin, termasuk gambaran ideal atas bawahannya. Apapun itu, ditujukan untuk capaian terbaik. Masalahnya, capaian terbaik bagi siapa? Bagi diri sendiri, bawahan, organisasi, atau ketiganya? Karena itulah perlu disadari bahwa pemimpin adalah pendidik. Apa maksudnya?
Setiap orang adalah khalifah. Setidaknya setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi golongannya. Ada lagi kalimat seperti ini, “Semua orang adalah guru”. Ini adalah salah satu aturan di kelasku. Biasanya aku membuat aturan yang salah satunya berbunyi, “Semua adalah guru, semua adalah murid”, yang artinya, semua orang di kelasku menjadi guru dan murid sekaligus. Jika ada yang tidak tahu, bertanyalah. Maka ia menjadi murid. Jika ada yang lebih tahu, berilah tahu temannya. Maka ia menjadi guru. Coba bayangkan jika aturan ini tidak hanya ada di kelasku, tetapi menjadi prinsip setiap orang, maka ilmu pengetahuan akan berkembang dengan pesatnya. Dan coba bayangkan jika setiap pemimpin adalah pendidik, apa yang akan terjadi?
Mari kita simak cerita temanku berikut ini!
Beberapa waktu yang lalu, Si Yusro, temanku, datang menemuiku. Setelah beberapa kali janjian belum terlaksana, akhirnya kami bertemu di sebuah warung kopi. Dia bercerita (lebih tepatnya curhat) pengalamannya ketika didaulat menjadi pimpinan baru sebuah unit kerja. Ia sudah 3 bulan berjibaku memikul tanggung jawab barunya tersebut.
Yusro bercerita awal mula dia akan menjadi pemimpin dari unit kerja. Menjelang dia memikul tanggung jawab sebagai pemimpin baru, si pemimpin lama mengajaknya untuk bertemu. Pemimpin lama menceritakan sejarah dia membangun unit kerja tersebut mulai dari nol. Ia juga menceritakan betapa dekatnya ia dengan anak buahnya, karena ia membangun unit kerja tersebut seperti sebuah keluarga. Bahkan ketika secara tidak sengaja anak buahnya mendengar bahwa ia akan diganti, mereka menangis dan nyaris mengundurkan diri semua. Si pemimpin lama berusaha membesarkan hati mereka, meskipun menurut Yusro, tetap saja pemimpin lama memang memberi jalan untuk anak buahnya mengundurkan diri. Yusro berpikir, betapa pemimpin ini sangat kharismatik di mata anak buahnya. Betapa anak buahnya mencintai sang pemimpin.
Kini Yusro sudah merasakan menjadi pemimpin di unit kerja tersebut. Ternyata kenyataannya tidak setragis yang diceritakan oleh si pemimpin lama. Para anak buah bekerja sebagaimana biasa.
Namun beberapa kali Yusro menemukan kesulitan dalam pekerjaan. Pasalnya, anak buahnya tidak bekerja jika tidak diarahkan, padahal itu wilayah kerja dari anak buah tersebut. Ketika harus bertugas, anak buah harus diingatkan soal waktu, perlengkapan, dan apa yang harus dilakukan. Yusro pusing, kenapa bisa begitu?
Dari pembicaraanku dengan Yusro, diperoleh simpulan bahwa ada perbedaan antara cara pemimpin lama dan Yusro dalam memimpin. Pemimpin lama memang bertindak sebagai pemimpin yang terpusat (sentralistik). Semua pekerjaan diarahkan oleh dia. Yang mengetahui detil tiap pekerjaan adalah si pemimpin. Seandainya anak buah tahu, itu hanya karena anak buah mempelajari polanya. Tapi semua baru dilakukan atas dasar diperintah, diingatkan, atau disuruh. Efeknya, anak buah tidak biasa mengambil inisiatif dan merasa nyaman, karena tidak perlu ikut banyak berpikir. Makanya itu, salah satu yang ditangisi oleh anak buah ketika pemimpin lama pergi adalah hilangnya rasa nyaman tanpa berpikir. Sementara itu, pemimpin menikmati proses ini, karena dia senang. Jadi, satu sisi pemimpin merasa senang, sedangkan anak buah merasa nyaman dan aman.
Soal kemanan, pasti ada kaitannya dengan ketakutan. Menurut cerita Yusro, pemimpin lama tersebut juga banyak memberikan rambu-rambu dan peringatan. Jika anak buah ada kesalahan, maka hal tersebut akan menjadi persoalan besar yang jika persoalan tersebut hilangpun, teman-temannya tetap mengenang. Hal inilah yang meimbulkan rasa ketakutan. Efeknya sama, tidak berani mengambil inisiatif, menunggu perintah serta lebih aman jika dituntun dan diarahkan.
Yusro baru menyadari bahwa model kepemimpinan yang seperti ini memang terjadi jika pemimpin mempunyai rasa memiliki yang terlalu kuat. Dia tidak berpikir bahwa sebuah organisasi harus lestari, meskipun orangnya silih berganti. Organisasi akan diteruskan oleh orang lain, bukan hanya dijalankan oleh dirinya sendiri dan punah setelahnya. Jika kejadiannya seperti ini, maka hilang pemimpin akan mati pula organisasi.
Biasanya, pilihannya adalah mengajari pemimpin baru. Siapa yang mengajari? Ya pemimpin lama. Tapi yang diajarkan sudah pasti adalah cara kerja yang sudah ia terapkan. Artinya, pemimpin berikutnya mampu menghandle organisasi, tetapi tak membuat anak buah belajar lebih mandiri. Coba bayangkan jika anak buah tersebut keluar dan berkarier di tempat lain yang lebih dinamis, dimana setiap bagian atau setiap orang dapat mengambil inisiatif dan berkreasi untuk bagiannya, apakah mereka tidak shock? Selain itu, kreativitas mereka dalam mengembangkan diri dan organisasi juga pasti terkebiri. Apakah cara seperti ini mendidik?
Beradasarkan curhatan Yusro tersebut, kami menyimpulkan bahwa pekerjaan rumah yang terbesar buat Yusro bukan menata organisasi, tetapi mengubah mindset personel. Dan ini jauh lebih berat. Setidaknya begitulah yang dipikirkan Yusro. Kalau menurutmu?
Kalau menurut Yusro, seorang pemimpin hendaknya menjadi pendidik sekaligus, lebih-lebih jika organisasi yang dipimpin adalah sebuah institusi pendidikan. Pemimpin tak seharusnya berpikir hanya untuk kebaikan organisasi, apalagi untuk kebaikan dirinya sendiri. Pemimpin juga harus menjadikan organisasinya tempat bertumbuh. Bukan hanya skill yang berkembang, tetapi juga mental dan kepribadian, terutama untuk kehidupannya selanjutnya.
Sekarang Yusro sudah kembali bekerja. Aku tak sabar menunggu kisah berikutnya. Pasti ada banyak pelajaran yang bisa ku ambil darinya. Kalau Kamu, pelajaran apa yang dapat Kamu ambil dari cerita Yusro tersebut?