Apa Manfaat Mendengar Secara Aktif dan Empatik?
April 15, 2012 . by rudicahyo . in Psikologi Populer . 0 Comments
Pernah tahu mendengar dan menyimak? Keduanya memang beda. Yang dikatakan menyimak bisa dibilang adalah mendengar dengan cara berempati dan mendengar dengan aktif. Namun demikian, kita bisa mengoptimalkan mendengar dengan membuat kombinasi yang disebut mendengar empaktif. Apa keunggulan mendengar secara aktif dan empatik?
Ini malam pertama di Lamongan. Tidak terlalu banyak persiapan untuk memerankan diri sebagai pengawas ujian nasional. Mungkin karena sudah pernah menjadi pengawas di tahun-tahun sebelumnya. Ini sudah empat kali menjadi pengawas.
Malam diisi dengan jalan-jalan sekaligus mencari makan di alun-alun Lamongan. Tidak seperti tahun sebelumnya, kali ini penjual makanan di alun-alun mulai berkurang. Apa daya perut menunggu, maka apapun adanya disikat jua. Ikan gurami dan cumi bakar dengan sambal yang bikin uh ah jadi sasarannya. Kalau ini sih jadi terdengar mewah hehehe. Cuma karena bukan yang diingkan jadinya tak seperti itu nampaknya.
Di lobi hotel, aku, Septian dan Ucok melanjutkan ngobrol. Entah dari mana, lama-lama ngobrolnya jadi tentang balapan motor. Septian adalah tokoh kuncinya. Artinya, Septian menjadi tukang dongengnya.
Kalau diingat-ingat, sepertinya yang dibahas pertama adalah soal tangan kanan Septian yang patah. Ia ceritakan kronologinya dengan detil. Awalnya sih tentang pengobatannya di pijat tradisional yang disebut sangkal putung. Lakok kebetulan tempat sangkal putungnya itu aku tahu. Kata Septian memang di dekat rumahku. Karena ada hal yang aku juga ketahui dari cerita Septian, maka ketertarikan bertambah.
Septian cerita tentang penyebab lengan kanan sampai bahunya patah. Ia ditabrak keras dari belakang ketika ia akan berbelok, padahal ia sudah memasang shine.
Karena cerita tentang lengan kanannya yang patah, maka ini berlanjut pada lengan yang sama. Lho maksudnya? Iya, lengannya pernah patah dua kali. Ternyata untuk keptahan yang lain ini karena ia adalah seorang pembalap.
Memang ia bukan pembalap professional, menjadikan balapan sebagai profesi. Ia adalah pembalap jalanan yang mengais keuntungan hanya 10 %. Ia sadar itu tidak ada apa-apanya, selain namanya yang makin diakui di kalangan pembalap jalanan.
Ceritanya panjang. Bagaimana tidak panjang, dua setengah jam dihabiskan oleh Septian untuk bercerita. Jika Septian bercerita, sebaliknya, ini berarti aku dan Ucok menghabiskan waktu yang sama untuk mendengarkan. Nah, karena itulah aku tidak akan menceritakan kisah yang dituturkan Septian secara detil. Karena bagian mendengarkan inilah yang akan aku bahas. Soal cerita Septian, nanti kita bahas dalam tulisan yang berbeda saja.
Awal mendengarkan Septian cerita, aku berpikir ini akan berakhir paling tidak hanya setengah jam. Karena pertama memang saling celetuk. “Wah, nonton bola di sini kayaknya lega banget”, kataku. Kebetulan waktu itu sedang ditayang pertandingan sepak bola antara Persib dan Persiba. Pertandingan itu ditayangkan di layar dengan menggunakan LCD. “Nontok tah (nonton kah)?”, sahut Septian. Karen celetukan itulah kami mulai bercengkerama.
Ternyata Septian bercerita dengan bersemangat menggelora, hingga waktu berjalan satu jam sudah. Aku lirik si Ucok yang berniat mengerjakan soal untuk ujian tengah semester, sudah mulai resah. Keresahan Ucok ini membuatku juga berpikir untuk menyudahi obrolan dan menggiring Ucok ke kamar, biar segera bisa merampungkan tanggungannya. Saat inilah mulai muncul dua pilihan, terus mendengarkan Septian atau menyudahi demi Ucok yang malang.
Aku ulur sejenak untuk menyelesaikan satu babak cerita dari Septian. Selain karena ingin menuntaskan satu babak cerita, ada rasa tidak enak juga kalau memotong kesenangan Septian yang sedang asik bercerita.
Sejalan dengan mengalirnya cerita, aku mulai berubah arah. Aku coba menantang diri untuk tidak terpengaruh dengan Ucok dan mendengarkan total cerita Septian. Ternyata melakukan ini tantangannya lumayan.
Buat orang yang begitu memperhatikan perasaan orang lain (preferensi seorang feeler), upaya ini mungkin tidak akan mudah. Artinya, aku harus berjuang antara kepentingan Ucok dan tidak menghilangkan kesenangan Septian bercerita. Karena itulah aku menantang diri untuk mendengarkan secra total.
Tantangan untuk mendengar secara total ini lebih dari sekedar rasa ingin menjaga perasaan kedua belah pihak. Ini adalah soal mendengarkan aktif dan empatik. Sebut saja ini sebagai mendengarkan empaktif, empati sekaligus aktif. Kenapa kok harus empati dan aktif?
Dalam mendengarkan, ternyata kita perlu memoderasi antara empati dan aktif. Jika tidak maka akan berat sebelah dan kadang mendengarkanpun berjalan tidak efektif. Jika kita terlampau berempati dalam mendengarkan, maka kita akan menerima begitu saja, malah fatalnya berusaha menyenangkan pembicara. Ini berarti berbeda dengan mendengar reseptif. Mendengar empatik bisa lebih dari itu. Berempati yang ditonjolkan, menyenangkan pembicara yang diutamakan. Reseptif punya kelemahan kurangnya analisa kritis, sedangkan empati membuat kita jadi lips service. Karena itu juga butuh mendengar aktif.
Namun jika kita terlampau aktif dalam mendengar, maka pikiran kita tak akan berhenti bekerja ketika mendengarkan. Bahkan kerja pikiran kita kadang-kadang mengaburkan apa yang kita dengar. Bisa saja pikiran kita melakukan dramatisasi, membuat perlawanan, atau over combining (terlampau banyak mengombinasikan).
Untuk menjembatani itu, kita perlu berempati sekaligus aktif dalam mendengarkan. Dengan mendengarkan secara empaktif, kita bisa memodereasi keduanya.
Apa keuntungan mendengarkan empaktif?
Selain bisa membuat kita aktif dalam mendengarkan isi pembicaraan, tetapi sekaligus bisa berempati terhadap orang yang sedang bicara, mendengar empaktif mempunyai kekuatan. Apa itu?
1. Mendengar empaktif memoderasi isi pembicaraan dengan orang yang bicara
Aktif mengacu kepada isi pembicaraan. Orang yang aktif mendengarkan akan berusaha mengelola apa yang ia dengar. Reaksinya bisa berupa pertanyaan atau memunculkan pendapat. Demikian jika fokusnya kepada isi pembicaraan.
Mendengar empaktif menjaga keseimbangan, tidak hanya fokus kepada isi yang didengarkan, tetapi juga memperhatikan pembicaranya. Wilayah ini membutuhkan empati. Karena itulah kita bisa jadi seimbang.
2. Mendengar empaktif melatih kita untuk meningkatkan ambang batas kesabaran
Kehilangan fokus pada salah satu aspek dari yang kita dengarkan pasti mengurangi kenikmatan mendengar. Jika kita fokus kepada isinya, ini pasti akan membuat kita sibuk bertanya dan berusaha mengemukakan pendapat. Pasti energi yang dikeluarkan akan besar. Karena itulah daya tahan kita mungkin juga tidak lama dalam mendengarkan.
Jika fokus kita terlampau besar memperhatikan pembicaranya, maka kita akan sering melamun memandang wajah pembicara. Kita lebih fokus kepada perasaan senang kita ketika pembicara bersemangat atau senyumnya mengembang. Hal ini kadang menghilangkan perhatian kita pada isinya. Usaha menjaga perasaan pembicara atau tersenyum, yang boleh dibilang palsu, juga membutuhkan energi besar.
3. Mendengar empaktif mengasah kepekaan emosi sekaligus menguatkan daya pikir
Memperhatikan isi dengan aktif dapat membuat daya nalar kita semakin kuat. Kita terlatih untuk mengkritisi, membuat pertanyaan, melakukan dramatisasi, mengelola opini dalam pikiran kita. Karena itulah pikiran kita akan terlatih karena terus bekerja dengan stimulus pembicaraan yang terus mengalir.
Emosi kita juga semakin peka dengan mendengar empaktif. Selain isi, kita juga menjaga keseimbangan dengan memperhatikan pembicaranya. Perubahan emosi yang terpancar dari wajah pembicara. Rasa senang, kecewa, marah selalu kita radar untuk kita terjemahkan dalam sikap kita ketika mendengar.
Demikan sari pengalaman yang aku refeleksikan kepada kegiatan mendengar yang aku beri nama mendengarkan empaktif. Apa lagi ya manfaat dari mendengarkan empaktif ini?
Tag: Creative Learning, Listening, Mendengar, Menyimak