Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya? Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah? Tidak, tidak cukup hanya dengan itu. Bangsa yang besar adalah bangsa yang merasa memiliki negeri ini. Bangsa yang besar selalu memikirkan solusi atas segala persoalan yang terjadi. Masalahnya, apakah kita terbiasa berkubang dengan masalah atau membudayakan membuat solusi?
Beberapa bulan ini saya diminta untuk memberikan program bimbingan teknis untuk para siswa di berbagai sekolah menengah kejuruan di Surabaya. Bimbingan teknis (bintek) ini adalah rangkaian dari program bimbingan karier yang diadakah oleh Pusat Terapan Psikologi Pendidikan bekerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya. Aktivitasnya terdiri dari tes bakat minat, konseling karier, dan diakhiri dengan bimbingan teknis.
Program bintek selalu diawali dengan ceramah dua narasumber, dari dinas tenaga kerja dan dan dari PTPP Fakultas Psikologi Unair, yang kebetulan saya sendiri yang membawakan. Pertanyaan popular pasca ceramah adalah bagaimana sukses dalam wawancara kerja.
Berbicara tentang wawancara kerja, ada pembahasan yang menarik tentang satu pertanyaan wawancara yang berbasiskan pengalaman atau biasa disebut Behavioral Event Interview. Ada satu pertanyaan yang sering ditanyakan, yaitu pengalaman terberat yang pernah dihadapi oleh kandidat. Poin dari pertanyaan ini sebenarnya tentang bagaimana cara kandidat menghadapi situasi sulit tersebut, meskipun stimulusnya adalah meminta untuk menceritakan pengalaman pahitnya.
Ada dua poin dalam satu pertanyaan tersebut, yang satunya eksplisit dan yang lainnya implisit. Pertanyaan eksplisitnya adalah tentang pengalaman terberat, pengalaman pahit, pengalaman gagal atau semacamnya. Sedangkan bagian implisit yang menjadi titik tekan adalah tentang perilaku kandidat saat peristiwa tersebut, yang kemudian mengarah kepada solusi.
Banyak kandidat yang gagal karena disumbang oleh pertanyaan tentang kegagalan. Seperti sebuah linearitas yang kebetulan, kegagalan dikarenakan bercerita tentang kegagalan. Kenapa pasalnya?
Bolehlah dibilang pertanyaan tentang kegagalan terasa menjebak, karena yang ditanya kegagalan pastilah otomatis otak kandidat akan berusaha melacak pengalaman gagalnya. Dalam pendekatan Appreciative Inquiry, hal ini disebut dengan prinsip simultan. Setiap pertanyaan akan menciptakan jawabannya sendiri. Ketika seorang tukang becak yang sedang bersantai ditanya, “Apa pengalaman terberat sebagai tukang becak?” atau “Apa pengalaman berkesan sebagai tukang becak?” akan menciptakan jawabannya sendiri. Meskipun kondisi mereka berdua sama, akan ada perubahan (perbedaan) psikologis baru yang disebabkan oleh pertanyaan tersebut. Pada saat yang sama, pertanyaan membuat perubahan.
Karena pertanyaan yang diberikan kepada kandidat adalah tentang pengalaman buruk, pengalaman pahit, pengalaman gagal dan semacamnya, maka dengan sendirinya kandidat akan mengakses seluruh data pengalaman di otaknya yang diberikan indeks kegagalan, kepahitan, keburukan dan semacamnya. Padahal yang ditunggu dari wawancara tersebut adalah sikap dan perilaku yang dimunclkan oleh kandidat ketika menghadapi situasi tersebut. Dengan kata lain, pewawancara menunggu solusi yang menjadi konsekuensi dari masalah yang dihadapi kandidat.
Berdasarkan pengalaman ini, berarti gagasan dapat diciptakan dari pertanyaan yang digunakan untuk mengeluarkan gagasan tersebut. Dala hal ini, pertanyaan membuat kandidat mengeluarkan gagasan tentang kegagalan. Coba bayangkan ketika obrolan di sekitar kita banyak membicarakan kegagagalan, kepahitan, kepedihan, keburukan, maka yang hidup di atmosfir kita juga tentang hal-hal tersebut. Jika pertanyaan kita berputar di kegagalan, kepahitan, kepedihan, dan keburukan, pada saat itu juga otak-otak yang terlibat akan melacak hal-hal tersebut untuk dibicarakan, dibagikan, akhirnya menjadi atmosfir yang mempengaruhi semua orang di dalamnya. Pada ujungnya, jika hal ini menjadi budaya, maka pada saat itu kita terbiasa berkubang dalam masalah, bukan membudayakan untuk berpikir solusinya.
Sekarang, coba kita lihat kembali, bagaiman pembicaraan kita sehari-hari, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Apakah kita membicarakan tentang solusi atau malah justru sebaliknya, berisi keluhan, protes, caci-maki tanpa henti?
Saya saja secara pribadi tidak suka jika orang di sekitar saya banyak mengeluh. Namun ketidaksukaan ini tidak lantas selalu mujarab dengan cara melawannya. Sebagaimana hukum aksi-reaksi, ketika kita meminta, mencegah, atau melawan orang yang mengelluh, pada saat itu juga keluhannya menjadi semakin popular, sikapnya menjadi diekspose. Karena itu, yang akan lebih baik jika kita membentuk budaya. Kita awali dari kita, dari pembicaraan kita, dari pertanyaan kita. Ketika obrolan kita di kehidupan sehari-hari, termasuk di dunia maya, mengarah kepada keluhan, maka kita akan membangun kebiaisaan mengeluh dan akhirnya menjadi bangsa pengeluh. Yang perlu kita lakukan adalah membudayakan untuk memikirkan solusi, mengajak orang untuk menghadapi segala tantangan negeri ini dengan lebih positif.
Sudahkah kita terbiasa berbagi hal yang positif untuk membudayakan solusi di negeri ini?