Ingin Merasa Bahagia dengan Aktivitas Kita? Hilangkan Variabel Waktu!
January 23, 2017 . by rudicahyo . in Psikologi Populer . 0 Comments
Siapa orang yang tidak ingin bahagia? Termasuk ingin menjadi bahagia dalam melakukan aktivitasnya? Padahal, jika kita ingin merasa bahagia dalam menjalani aktivitas, mudah saja. Caranya, hilangkan variabel vaktu!
Jika ada yang bertanya, ingin kaya atau ingin bahagia, apa jawaban Kamu? Kenapa Kamu lebih memilih salah satuya dibanding yang lainnya? Andai pertanyaan seperti ini dilempar oleh penyiar radio kepada pendengar, maka jawaban pendengar yang lebih memilih kekayaan akan berpikir bahwa kekayaan itu yang bikin bahagia. Sebaliknya pendengar yang lebih memilih kebahagiaan, akan berpikir bahwa kebahagiaan lebih menyeluruh dibandingkan hanya sekadar kaya.
Jujur, kalau aku sependapat dengan jawaban terakhir. Dengan kebahagiaan, seberapapun kekayaan yang kita miliki, maka kita akan merasa cukup. Ketika kita selalu merasa kurang, maka pada saat itu kebahagiaan kita tergerogoti, diganti dengan kesedihan atau ketakbahagiaan.
Persoalannya, ketika seseorang masih berpikir di luar kedua jawaban itu, maka pertanyaan skeptik sangat mungkin muncul, misalnya tentang keterjebakan pada fatalistik. Apakah lantas dengan merasa bahagia, seseorang tidak perlu lagi menetapkan tujuan yang lebih tinggi dan berusaha meraihnya? Bukankah hal seperti ini dapat membuat orang berhenti berusaha?
Karena itu, menjadi bahagia lebih dari hanya menjadi kaya atau tidak menjadi kaya. Menjadi bahagia juga melebihi dari hanya pencapaian tujuan atau pemenuhan keinginan. Karena itu, banyak cara untuk menjadi bahagia dengan keefektifan yang berbeda-beda. Begitu juga dengan kebahagiaan yang dihasilkan, apakah dapat bertahan lama atau hanya sesaat saja. Untuk itu aku coba tawarkan satu cara (lagi) untuk menjadi bahagia, yaitu dengan menghilangkan variabel waktu.
Permah ingat kalimat “Laskar Pelangi tak terikat waktu” dalam lagu Laskar Pelangi yang dinyanyikan oleh Nidji dan menjadi soundtrack film dengan judul yang sama? Ya, waktu menjadi problem inti dalam menyikapi kehidupan, yang kemudian berimbas kepada bagaimana kita merasakan kebahagiaan. Banyak orang merasa tertekan dengan kepemilikan waktunya. Tugas yang menumpuk, pekerjaan bejibun, dan deadline datang pergi silih berganti. Semua itu berhubungan dengan waktu. Semakin seseorang merasa bahwa waktunya terbatas, maka semakin tinggi tekanan yang dirasakan. Sebaliknya jika orang merasa waktunya panjang, maka ketertekanan juga semakin kecil.
Waktu juga menjadi variabel yang bisa mengganggu. Karena itu, banyak orang berusaha menahlukkan waktu, agar variabel tersebut tidak banyak menganggu. Orang berusaha menyusun jadwal, mengalokasikan waktu, membuat skala prioritas, menggunakan time line dan sebagainya. Itu semua dilakukan untuk mengontrol waktu. Ketika orang berusaha mengontrol waktu, pada saat itu juga waktu melakukan tekanan balik. Pada sisi yang berlawanan, ada orang yang beruaha menahlukkan waktu dengan menikmati setiap moment yang dilalui. Tapi jika ia tetap memasukkan variabel waktu, maka sesungguhnya ia masih menikmati waktu secara semu. Pada saat bersantai, pikirannya tidak larut. Ia masih memikirkan waktu yang ia gunakan. Ia masih melakukan pembatasan. Karena itulah, aku mengganti judul tulisan ini dari ‘menghentikan waktu’ menjadi ‘menghilangkan variabel waktu’. Jauh lebih esktrim.
Bagaimana menghilangkan variabel waktu? Tentu saja menghilangkan variabel waktu tidak semudah ketika diucapkan. Menghilangkan variabel waktu bukan menekan tombol off atau melepas batere jam. Selama kita melakukan aktivitas, mulai dari bernafas sampai kepada kegiatan yang beraneka macam, semuanya berada dalam bingkai waktu. Bronfenbrenner menyebutnya sebagai cronosystem. Kaum eksistensialisme mengatakan sebagai berada dalam ruang dan waktu atau mewaktu. Seperti yang dikatakan Sarte bahwa sejarah adalah ide yang berkembang dalam waktu. Karena waktu tidak bisa dihindari, kita tidak bisa lari darinya, maka bagaimana mungkin kita bisa menghilangkan variabel waktu?
Menghilangkan variabel waktu bukan berarti sama sekali lepas dari waktu, tetapi waktu tetap ada. Hanya saja waktu itu tidak kita hadirkan dalam aktivitas. Untuk itu, kita bisa melakukan beberapa hal berikut yang bisa menghilangkan varibael waktu. Apa saja yang bisa kita lakukan?
1. Menikmati yang sedang dimiliki
Dalam bahasa yang sederhana, orang mengistilahkan dengan bersyukur. Setiap pemberian diberikan kepada kita sebagai karunia terbaik. Ketika kita bisa mensyukuri, maka dua keuntungan sekaligus kita peroleh. Kita dapat merasakan kenikmatan dari pemberian sekaligus dapat membuat pemberian itu berasa berkah, menjadi terasa berlimpah. Ini sebuah bentuk pelipatgandaan nikmat. Ketika kita tidak mensyukuri yang dimiliki, maka pada saat itu kita diikat oleh variabel waktu. Sepertinya memang tidak berhubungan. Tetapi orang yang menikmati apa yang sedang terjadi pada dirinya, apa yang sedang dimiliki, pada saat itu juga variabel waktu ditepis dari proses yang sedang dijalani.
2. Menjadi diri sendiri
Selain dalam pekerjaan atau aktivitas, waktu itu memiliki representasi pada diri orang, misalnya rekan kerja, teman sekolah atau kuliah, guru atau atasan dan sebagainya. Ketika kita disibukkan melihat sesuatu yang terjadi atau ada pada diri orang, pada saat itu kita mulai memasukkan variabel waktu. Kita memikirkan, apa yang telah diraih oleh orang lain dan apa yang akan ia lakukan untuk meraihnya. Kata ‘telah’ dan ‘akan’ memasukkan kita pada variabel waktu. Kita akan kembali masuk dalam lingkaran perburuan, dikejar oleh waktu.
3. Mengenali dan melakukan hal yang disukai
Satu hal yang membuat variabel waktu menjadi tidak relevan mengambil peranan dalam aktivitas kita, yaitu kesukaan atau hobi. Ketika kita lrut dalam aktivitas yang kita sukai, pada saat itu waktu menjadi tersingkirkan. Banyak orang lupa waktu ketika meneliti atau bereksperimen dalam laboratorium, bermain atau melakukan olahraga tertentu, atau mengotak-atik data untuk memecahkan persoalan. Ketika semua aktivitas tersebut disukai dan dilakukan sepenuh hati, pada saat itu pula variabel waktu mulai ditiadakan.
4. Membangun keunikan
Menyadari keunikan dan menguatkannya penting untuk menghilangkan variabel waktu. Ketika seseorang terus terbawa oleh situasi dan kondisi orang lain, maka pada saat itu keunikannya semakin kabur. Ketika seseorang selalu berusaha sama dengan kelompok, pada saat itu kesadaraan akan keunikan menjadi melemah. Bagaimana menyadari dan menerima keunikan bisa menghilangkan variabel waktu? Ini berhubungan dengan cara nomor dua, yaitu menjadi diri sendiri. Keunikan akan membuat kita menjadi center, sehingga kitalah yang memegang kendali akan situasi, termasuk memegang kendali akan waktu. Ini adalah langkah awal untuk menjadikan waktu tidak relevan dalam aktivitas kita.
5. Melestarikan misi pribadi
Poin 5 ini juga berhubungan dengan poin 2 dan poin 4. Hanya saja, poin 5 ini megarah kepada tujuan hidup yang paling pribadi. Ketika kita memiliki misi pribadi dan punya pendirian untuk mempertahankannya, pada saat itu kita memiliki kendali, termasuk atas waktu yang kita miliki. Waktu menjadi seutuhnya milik kita sendiri, bukan milik orang lain. Bahkan secara ekstrim, kita tak perlu berbagi. Artinya, saat ini fokus meraih impian atau visi pribadi, pada saat itu waktu menjadi tidak relevan, karena kita larut dalam misi kita sendiri. Dalam pekerjaan, ketika kita menerima tugas, agar waktu menjadi tidak relevan, maka kita seharusnya mejadikan tugas tersebut sebagai milik kita pribadi (sense of belonging). Untuk dapat memunculkan rasa memiliki, di tahap awal kita bisa mengaitkan antara tugas tersebut dengan kepentingan pribadi kita.
6. Lakukan lebih dari rutinitas
Ketika kita larut dalam aktivitas, memang kita sama seperti ketika larut dalam rutinitas. Kegiatan harian yang sama dan menjadi tugas tetap, biasanya bisa dilakukan secara otomatis. Namun rutinitas berbeda dengan keterlibatan penuh dalam aktivitas. Rutinitas hanya melibatkan sebagian dari diri. Contohnya saja para pekerja pabrik di bagian produksi atau pengepakan. Tangannya bisa bekerja sebagai kebiasaan, sedangkan pikirannya bisa tidak sedang di tempat. Ia juga bisa melakukannya sambil ngobrol dengan sesama pekerja. Berbeda dengan keterlibatan penuh yang mencurahkan pikiran, perasaan dan gerak tubuh untuk melakukan sebuah misi, untuk  mencapai tujuan. Pada saat kita bisa terlibat total, melakukan lebih dari sekadar rutinitas, pada saat itulah kita mulai menghilangkan variabel waktu.

Ini bisa dianggap salah satu cara menjadi bahagia, yaitu menghilangkan variabel waktu dalam aktivitas kita
Demikian cara kita untuk menghilangkan variabel waktu dalam aktivitas kita. Dengan hilangnya variabel waktu, kita selangkah lebih memiliki kehidupan kita sendiri. Laura Vanderkam mengatakan, “… even we are bisy, we have time for what metters. And when we focus on what metters, we can build the lives we want in the time we’ve got”
Artikel tentang Psikologi Populer Lainnya:
- Jika Sudah Punya Mimpi, Terus Diapakan?
- Hiper Realitas Media Sosial, Bagaimana Nasib Generasi Muda?
- Peran Imajinasi di Tiga Area Penciptaan
- 5 Situasi yang Memudahkan Mengenali Diri Sendiri
- Video Mesum BEREDAR Lagi, Inikah Sifat Alamiah RAHASIA?
- Sudut Pandang Psikologi: Pembentukan Karakter di Film Joker
- Ikigami (Death Notice), The Ultimate Limit, Eksistensi Diri Menjelang Kematian
- Hati-Hati dengan Pembentukan Karakter oleh Teroris
- Hati-Hati, Persepsi Negatif Bisa Menguasaimu!
- 5 Faktor Penghambat Psikologis dalam Memulai Bisnis
- Fokus Kekuatan Diri Dibentuk oleh Niat
- Perbedaan Hadiah dan Hukuman
- Fixed Mindset dan Growth Mindset, yang Manakah Dirimu?
- Bagaimana Hierarchy of Needs Abraham Maslow Melihat Motif Berpuasa Kita?
- Hidayah Tak Datang dengan Mudah
- 5 Jurus Lepas dari Stagnasi
- Teori Motivasi dari Abraham Maslow
- 8 Dampak Ketagihan Gadget pada Anak
- Bagaimana Film Amazing Spiderman di Mata Psikologi?
- KKN di Desa Penari, Antara Fakta dan Fiksi
- Reaksi Spontan Atas Ketidaknyamanan Dapat Membentuk Pribadi Kita
- Punya Banyak Waktu Luang? Hati-Hati dengan Bahaya Menganggur
- Psikologi Humanistik: Dengan Teknologi, Belajar Dimanapun Bisa Dibagi
- 5 Kondisi Lingkungan Kerja yang Berdampak pada Pemberdayaan Diri
- Pentingnya Memahami Term dan Definisi dalam Membuat Laporan Psikologi
- The Philoshophers (After The Dark), Sebuah Pertarungan 'Kepala' dan 'Hati'
- Kekerasan Seksual pada Anak di Mata Psikologi
- Apakah Kita Benar-Benar Memiliki 'Me Time'?
- Bagaimana Memelihara Imajinasi Anak Tetap Menyala?
- Riya' Meter, Sebuah Alat Penakar untuk Menyelamatkan Diri dari Pamer
- Efek Akun Pencitraan Buat Pemiliknya
- 5 Langkah Detoksifikasi Kecanduan Pornografi
- Kekuatan Pikiran Kita Dapat Membentuk Orang Lain
- Belajar Prinsip Hidup dari Film The Fan
- Bagaimana Mengelola Orang yang Bermasalah dengan Kita?
- Apa yang Melemahkan Determinasi Diri dalam Membuat Keputusan?
- Menjadi Orangtua Itu Sangat Intuitif. Percaya Sama Ahli Parenting?
- Simplifikasi: Persiapan Menjadi Tester Handal untuk Psikotes
- Abnormalitas adalah Normalitas yang Diingkari
- Terapi Psikologi: Menyembuhkan Gejala atau Penyebabnya?
- Faktor Penguat Tingkat Kepercayaan Orang kepada Kita
- Senang dan Sedih juga Dipelajari
- Need Sebagai Motif dalam Hierarkhi Kebutuhan Maslow
- Belajar Pembentukan Perilaku dengan Observational Learning Bandura
- Tiga Pola Strategi Mewujudkan Disiplin Positif pada Anak
- Paradoxical Intention, Terapi Diri dengan Menertawakan Rasa Sakit
- Cara Mengatasi Tekanan Fight Flight atau Flow Mana yang Efektif?
- Level Kerumitan Persoalan Psikologis
- Air Mata sebagai Emotional Release
- Pentingnya Detoksifikasi Kecanduan Pornografi
- Penarikan Simpulan yang Sesat atas Diagnosis Psikologi
- Teori Belajar Operant Conditioning Skinner
- 6 Pelajaran Kompleksitas Emosi dari Film Inside Out
- Apakah Sigmund Freud Sex Oriented?
- Cara Mengatasi Godaan Ikhlas
- Zone of Proximal Development dan Scaffolding pada Teori Belajar Vygotsky
- Memetakan Sumber Penghasilan dengan Inventarisasi Kekuatan
- Tiga Cara Meningkatkan Motivasi dari Dalam Diri
- Harmonisasi Pola Alamiah Diri dengan Pekerjaan
- Apa Perbedaan Berpikir Analitis dan Berpikir Kreatif?
- Menguasai Emosi Orang Lain melalui Disonansi Kognitif
- Pekerjaan atau Anak?
- Kenapa Anak Lebih Suka Membaca atau Mengoperasikan Angka?
- Bagaimana Pola Ketergantungan Terbentuk?
- Dua Golongan Orang yang Mampu Menaklukkan Kehidupan
- 6 Prinsip Penyelarasan Tugas untuk Menjaga Motivasi di Masa Transisi
- Selective Mutism, Jangan-jangan Anak Kita...
- Bagaimana Psikologi Menganalisa Mimpi?
- Bentuk Tulisan untuk Meredakan Kegalauan
- Menjadi Bahagia dengan Membunuh Waktu. Bagaimana Caranya?
- Karakteristik Anak Berdasarkan Kesukaannya Membaca atau Mengoperasikan Angka
- Apa Dampak Berasumsi Negatif bagi Kesehatan Jiwa Kita?
- Kronologi Proses Keluhan Mengebiri Solusi
- Manfaat Berlibur untuk Kesehatan Psikologis
- Apa Sumber Makna dalam Hidup Kita, Isi atau Bungkus?
- Motif Mempengaruhi Loyalitas
- Hilangnya 3 Hal yang Menjauhkan Diri dari Kebahagiaan
- Sayangnya, Kehidupan Nyata Itu....
- Mekanisme Pertahanan Ego dalam Psikoanalisa Freud
- Perbedaan antara Kebenaran dan Pembenaran
- Puasa Mengajari Kita Menunda Kenikmatan Sesaat
- Dampak Individual dan Sosial dari Perfeksionisme
- Mencegah Kecemasan Akibat Over Antisipasi
- Berkubang dengan Masalah atau Membudayakan Solusi?
- Teori Belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike
- Bersujud adalah Obat Psikologis yang Ampuh
- Kesehatan Mental Di Tempat Kerja
- Sekilas Cerita tentang Oedipus Complex
- Personal Well Being, Apa dan Bagaimana?
- Memahami AKU sebagai Pondasi Menjalani Hidup
- 7 Efek Tertawa dari Hati
- Kamu Menyebutnya Kesadaran
- Ingin Membunuh Kreativitas Anak? Lakukan 5 Hal Berikut Ini!
- Benarkah Televisi Menyebabkan Keterlambatan Berbicara?
- Ketika Suami Bilang, "Lebih Cantik Istriku", Percaya?
- Proses Pembentukan Pribadi Pengeluh
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- Teori Perkembangan Moral Kohlberg
- Kinerja Optimal dengan Menyiasati Aspek Kecepatan dan Ketelitian Kerja