Psychology | Learning | Parenting | Writing | Education

 

Tiga Penghambat Kepekaan Menangani Kasus Psikologi (Penting untuk Psikolog)

March 22, 2021 . by . in Psikologi . 0 Comments

Sudah menjadi makanan sehari-hari bahwa psikolog menangani berbagai kasus psikologi, sesuai dengan bidang keahliannya. Untuk itu, diperlukan kepekaan terhadap kasus. Namun ada beberapa hambatan kepekaan terhadap kasus. Hal ini membuat psikolog menjadi kurang optimal dalam membuat klien menjadi sehat. Simak tiga penghambat kepekaan menangani kasus psikologi.

Sudah menjadi rutinitas dosen ketika sudah mendekatpi pengumpulan laporan skripsi, thesis, atau praktikkum, dikejar-kejar oleh mahasiswa. Bahkan mahasiswa yang selama ini jarang nongol, kadang menjadi yang teraktif ketika ia ingin untuk segera lulus dari sebuah mata kuliah atau dari perkuliahan secara keseluruhan.

Begitu juga dengan saya yang belakangan ini disodori banyak file-file laporan untuk dicek kebenarannya. Ngomong-ngomong tentang mengecek kebenaran, ini termasuk dari salah satu tipe mahasiswa bimbingan, yaitu menjadikan dosen pembimbingnya sebagai verifikator. Pertanyaan yang khas adalah, “Apakah sudah benar atau belum?”.

Baca juga: 10 Tipe Mahasiswa Bimbingan Skripsi. Yang Mana Tipemu?

Kembali lagi kepada naskah yang disodorkan mahasiswa. Ada pola yang menarik dari naskah-naskah tersebut, baik yang berupa tugas kuliah, skripsi, laporan praktikum, ataupun thesis. Jadi polanya kasus didapatkan dari keluhan, terus keluhan itu dibuatkan hipotesis atau dugaan awal diagnosis. Dugaan awal ini yang perlu dicarikan data (asesmen) untuk mengetahi kebenarannya. Setelah kebenaran dipastikan, maka lahirlah hipotesis atau diagnosis akhir. Judgment diagnosis akhir ini yang perlu dibuatkan rancanan intervensi atau perlakuan. Perlakuan ditujukan untuk menyembuhkan keluhan.

Bagian yang menarik dari keseluruhan alur asesmen dan intervensi adalah saat menerjemahkan keluhan dari klien. Ada beberpaa penghambat yang membuat kasus tidak dilihat secara utuh. Berdasar laporan yang ditulis para mahasiswa, ada kemungkinan bahwa psikolog hanya akan melihat keluhan sebagai borok yang harus diobati. Tentu saja dalam pengobatan itu menggunakan sudut pandang psikolog sebagai penyembuh.

Apa yang dimaksud kepekaan terhadap kasus psikologi?

Kepekaan yang dimaksud adalah kemampuan kita melihat kasus secara utuh. Kasus dalam psikologi tidak seperti kasus spesifik di dunia medis. Misalnya saja gatal-gatal pada kulit. Kasus ini bisa dilokalisir pada kulit tersebut. Ataupun kalau dilacak ke dalam atau ke belakang, pelacakannya bisa mengikuti alur linear. Misalnya, habis makan apa sebelum muncul gatal. Namun coba bayangkan jika ada klien mengatakan bahwa anaknya mogok sekolah. Maka kasus ini akan melibatkan berbagai elemen, peristiwa, karakteristik pribadi anak dan sebagainya. Kepekaan terhadap kasus psikologi adalah kemampuan dan kemauan melihat kasus secara utuh dan diletakkan pada konteks diri klien.

kasus psikologi untuk psikolog

Psikolog harus mengasah kepekaan terhadap kasus psikologi (gambar: kompas.com)

Faktor Penghambat Kepekaan terhadap Kasus Psikologi

Berikut adalah beberapa penghambat kepekaan terhadap kasus psikologi.

1. Menelan mentah kasus dari klien

Psikolog sangat mungkin memandang keluhan klien tetap dengan bahasa awam alias masih mentah. Ketika klien mangatakan bahwa anaknya tidak mau mengerjakan tugas, maka kata yang digarisbawahi adalah ‘tidak mau’. Coba saya bertanya, apa yang spontan muncul di benak Kamu ketika ada keluhan ‘tidak mau’?. Apakah Kamu akan mengartikan itu sebagia sesuatu yang negatif, misalnya malas? Apakah Kamu langsung menghubungkan dengan kondisi motivasi yang rendah?

Inilah yang disebut dengan framing awam. Kita yang seharusnya mengelolah keluhan tersebut sebagian bagian dari diri klien secara komprehensif, malah terjebak pada simplisitas keluhan. Sudut pandang kita sudah dipengaruhi oleh keluhan dari klien.

Jika kembali kepada contoh, maka saya teringat seorang mahasiswa yang melaporkan bahwa seorang siswa tidak mau bertanya ketika tidak memahami penjelasan guru. Padahal pada data yang lain, diuangkapkan bahwa siswa tersebut tidak memahami apa yang harus ditanyakan. Karena keluhan guru adalah siswa tidak mau bertanya, maka kita terbawa ke sini dan melupakan bahwa problem utamanya adalah anak tidak tahu apa yang harus ditanayakan. Judgment terjebak pada ketidakmauan, padahal persoalannya ada pada ketidakmampuan.

2. Melihat kasus secara linear

Beberapa psikolog atau kebanyakan calon psikolog melihat kasus secara linear. Ini seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ketika ada klien mengeluh bahwa anaknya tidak mau mengerjakan tugas, maka cara kerjanya langsung disamakan dengan kulit yang gatal-gatal. Ketika kulit pasien gatal, maka pelacakannya bisa dilokalisir pada makanan atau bentuk gatalnya pada kulit. Namun untuk anak yang tidak mau mengerjakan tugas, bisa melibatkan banyak faktor, misalnya sekolah, guru, karakteristik kepribadian dan sebagainya.

Begitu juga intervensi atau perlakuan pada klien yang didasarkan pada berpikir linear, tidak akan melakukan penanganan secara komprehensif. Seorang psikolog bisa saja mencari treatment yang sudah biasa dipakai, mencari jurnal yang memuat cerita metode untuk megatasi persoalan serupa. Jadi ini setera dengan memasangkan gatal-gatal dengan obat antihistamin.

3. Pengaruh kebaisaan dan budaya yang mengambil alih

Coba bayangkan ketika ada anak yang tidak merespon instruksi dari guru. Kita langsung berpikir pada kondisi ideal, yang seharusnya,Β  yaitu anak merespon instruksi guru. Begitu juga ketika ada siswa tidak mengerjakan tugas, maka kita akan menghakimi kondisi ini sebagai kondisi yang tidak sesuai dengan yang seharusnya di masyarakat. Padahal setiap persoalan mengandung kompleksitasnya masing-masing.

Beberapa kasus, anak yang tidak mau mengerjakan tugas ternyata memang sebuah pilihan sadar yang ia ambil. Ternyata anak tersebut peka terhadap standar sosial. Ia menyadari bahwa dirinya tidak sepandai teman-temannya. Karena itu, agar kondisi dirinya tidak mencolok, ia lebih memilih untuk menolak mengerjakan tugas, dengan resiko akan dianggap bermasalah. Kemampuannya untuk memutuskan mengambil resiko tersebut dengan mempertimbangkan alasan yang (baginya) lebih penting, tidak pernah dilihat sebagai kelebihan yang ia miliki. Hal ini secara akumulatif justru malah membebani anak. Akibatnya, kondisi anak tersebut menjadi semakin parah.

 

Sebenarnya ada banyak faktor yang mempengaruhi atau menurunkan kepekaan terhadap kasus psikologi. Namun tiga hal ini yang paling sering terjadi, berdasarkan pengalaman mebimbing mahasiswa dalam menangani kasus klien. Jika memang ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi kepekaan dalam penanganan kasus psikologi, boleh dibagi di kolom komentar ya.. Semoga bermanfaat.

 

0.00 avg. rating (0% score) - 0 votes
Tags: , , , , ,

Artikel tentang Psikologi Lainnya:

by

Creative Learning Designer | Parenting Consultant | Writing Coach


 

Post a Comment

Your email is never published nor shared. Required fields are marked *

*
*

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>