Coba bayangkan jika anak-anak kita menjadi generasi pengguna, bukan pencipta. Kreativitas mereka dimusnahkan oleh kebiasaan belajar yang membentuk mental ‘foto kopi’, hanya menyalin apa yang dipelajari, tanpa mengalami perubahan diri. Iya, belajar hafalan membentuk generasi ‘foto kopi’.
Sabtu kemarin, 22 Desember 2012 yang lalu, aku diundang SMAN 1 Kediri untuk memberikan workshop Belajar Kreatif buat para guru. Ada hal yang menarik ketika sesi awal, yaitu saat membuat definisi ‘Belajar Kreatif’. Seorang peserta bertanya tentang kesesuaian definisi yang mereka ciptakan sendiri dan definisi yang menurut mereka lebih tepat, karena sesuai (atau bahkan sama persis) dengan definisi yang tertulis di buku.
Pada sesi awal tersebut, peserta membuat definisi ‘belajar kreatif’ versi mereka. Di sesi ini, digunakan metode ‘menciptakan cerita’ untuk membuat definisi. Dengan cerita ini, tetntu saja definisi yang dirumuskan adalah hasil pemikiran, perasaan dan pengalaman peserta sendiri tentang belajar kreatif. Apa yang menarik?
Begini kurang lebih pertanyaan dari salah seorang peserta, “Bagaimana jika peserta itu merasa definisi yang dibuatnya salah, karena tidak sama sama dengan buku?”. Guru tersebut mengambil contoh ini dari mata pelajaran Sejarah.
Alih-alih menjawab, aku kembali bertanya kepada peserta tersebut, “Apa yang membuat peserta tersebut berpikir bahwa definisi yang tepat adalah yang sama dengan yang tertulis di dalam buku?”. Peserta tersebut menjawab, “Kata siswa tersebut, mereka pasti disalahkan oleh gurunya”.
Nah, sudah jelas sekarang. Ternyata guru sering mempermasalahkan murid. Siswa dianggap punya masalah jika tidak bisa dalam pelajarannya, atau nilainya jelek di mata pelajaran tersebut. Padahal, dari kasus ini jelas, guru yang membuat siswa tersebut bermasalah. Guru mengharuskan siswa belajar tekstual, menghafal apa yang tertulis di buku. Dengan ungkapan yang lebih parah, guru tidak mengijikan siswa memiliki definisi mereka sendiri.
Persoalan tidak hanya soal nilai, tidak hanya tentang definisi yang tepat dan tidak tepat berdasarkan buku. Cara memperlakukan siswa seperti ini dapat mengubah pola pikir mereka. Siswa jadi tidak percaya terhadap pemikirannya sendiri. Secara keseluruhan, siswa jadi tidak percaya diri.
Ketidakpercayaan diri siswa ini kemudian membentuk pola perilaku. Mereka takut nilainya jelek, karena guru pasti menyalahkan jika definisi yang mereka tulis di kertas ulangan tidak sama dengan yang ada di buku. Karena ketakutan ini, maka anak akan cenderung menghafal.
Tidak semua anak pandai menghafal. Jikapun anak lancar dalam menghafal, hasil yang ia ingat tidak lebih dari susunan kata dan kalimat yang disimpan. Karena menghafal tidak mengandung pemaknaan yang dalam, maka apa yang dihafal akan mudah menguap, terlupakan. Apa yang telah dihafalkan hanya akan bertahan sampai ujian usai.
Secara jangka panjang, kebiasaan seperti ini akan menciptakan siswa atau generasi duplikat. Siswa kita akan jadi seperti mesin foto kopi. Belajar yang mereka lakukan bersifat referensif, bukan transformatif. Belajar referensif hanya mengambil, mengingat dan menggunakan. Sementara itu, belajar transformatif mampu mendatangkan perubahan pada diri siswa, karena apa yang dipelajari menyatu, menjadi diri mereka.
Efek yang lebih luas, anak-anak kita akan bermental pengguna, bukan pencipta. Pola belajar menciptakan hanya terbentuk dalam model belajar transformatif, bukan referensif. Coba bayangkan bagaimana efeknya jika negeri ini tidak punya generasi pencipta, hanya punya generasi pengguna?
Apa yang akan kita lakukan, sehingga pola belajar ‘foto kopi’ ini dapat berubah?