Jika rancangan fasilitasi belajar yang kita buat tidak memuaskan bagi peserta, tentu kita tidak akan mengulangnya. Untuk itu, kita perlu membuat fasilitasi belajar buruk yang disukai peserta. Nah, apa maksudnya coba?
Pernah melakukan evaluasi proses belajar, baik buat diri sendiri atau orang lain? Pasti sudah pernah merasakan kuliah/sekolah, mengikuti training atau workshop. Bagaiamana yang Kamu rasakan? Apakah mencapai hasil seperti yang Kamu harapkan? Itu jika kita mengevaluasi orang lain. Bagaimana jika kita mengevaluasi diri sendiri?
Simak pertanyaan peserta di sesi tanya jawab. Jika ternyata peserta banyak tanya ‘how to’ yang mendasar, berarti kita belum menyentuh kebutuhan mereka. Atau sebelum bertanya, peserta mengatakan, “Pertanyaan saya tidak ada hubungannya dengan materi sih”. Itu juga tanda bahwa apa yang telah kita sampaikan belum menyentuh kebutuhan peserta.
Persoalan ini sudah pernah aku bahas pada posting tentang pengalaman memfasilitasi guru untuk pembelajaran kreatif. Kali ini kita akan bahas tentang, bagaimana tindakan yang kita lakukan untuk mengefektifkan fasilitasi? Dengan kata lain, bagaimana membuat fasilitasi belajar yang fokus pada kebutuhan peserta?
Pada posting sebelumnya, tentang pengalaman fasilitasi pembelajaran kreatif, telah dibahas tentang ‘kehebatan yang gagal’ dari seorang teman yang memfasilitasi proses belajar. Sekarang akan kita bandingkan dengan ‘kebiasaan buruk’ku ketika memfasilitasi proses belajar. Apa saja ‘kebiasaan buruk’ tersebut?
1. Minim teori
Kebiasaanku ketika memandu proses belajar adalah tidak banyak menggunakan teori. Meskipun aku tetap mendahului dengan proses membaca referensi, aku menerjemahkan teori menjadi lebih sederhana. Aku memadatkan dalam bentuk yang seaplikatif mungkin.
2. Menyampaikan sedikit
Hasil menerjemahkan teori menjadi bentuk yang paling sederhana membuat apa yang aku sampaikan jadi sedikit. Ini adalah hasil perampingan teori kedalam poin-poin penting yang paling menyentuh kebutuhan peserta. Tentu saja kita perlu benar-benar mengenali kebutuhan peserta.
3. Menggunakan istilah yang tidak canggih
Semaksimal mungkin, aku menerjemahkan istilah teoritis kedalam bahasa sehari-hari. Aku ubah istilah yang terlampau teknis menjadi obrolan yang paling mudah dimengerti. Memang tidak terlihat hebat, tapi bermanfaat.
4. Melompat-lompat
Bukan berarti aku melakukan fasilitasi belajar dengan gaya katak, melompat-lompat. Melompat juga bukan berarti tidak fokus. Justru karena fokus pada tujuan, maka improvisasi dibutuhkan. Ingat, bukan melompat tak tentu arah. Tapi melakukan lompatan yang cantik jelita.
Begitulah, betapa ‘buruk’nya fasilitasi yang aku lakukan jika dibandingkan dengan fasilitasi belajar yang ini.
*Menunduk lesu* Menurutmu, fasilitasi belajar yang aku lakukan buruk ya? *kembali menunduk*