Pernahkah mengalami stag atau berhenti di sebuah titik, merasa tak berdaya dan tak tahu harus bertindak apa? Dalam kondisi seperti ini, sebenarnya kita sedang mengambil jarak terhadap perubahan yang kita inginkan. Ternyata pendidikan kita turut berperan menciptakan jarak dengan perubahan, dengan kehidupan.
Pernah merasa berhenti di satu titik dan tak tahu harus berbuat apa? Mungkn tidak hanya tak tahu harus melakukan apa, tapi kepala juga seperti kosong atau justru banyak yang dipikirkan. Bahkan ada juga yang merasakan hampa. Manifestasinya dalam bentuk kegalauan-kegalauan. Ini yang disebut sebagai stagnasi, yaitu posisi berhenti di sebuh titik, tidak berenergi, hampa atau perasaan campur aduk, sehingga juga tak tahu harus melakukan apa.
Tentang gambaran stagnasi dan bagaimana mengatasinya pernah dibahas di artikel yang berjudul “5 Jurus Lepas dari Stagnasi”. Namun kali ini kita akan menransformasikan pembahasan tentang stagnasi kepada perubahan diri.
Berubah ke arah yang lebih baik sudah pasti menjadi dambaan setiap orang. Ingin menjadi pebisnis, menikahi anak orang, meninggalkan pekerjaan, atau mengajukan pinjaman hutang ke bank adalah contoh- contoh titik-titik perubahan yang kadang kita hadapi. Masih banyak lagi titik perubahan yang kadang menuntut kita untuk memilih atau membuat keputusan.
Kali ini kita tidak akan membahas tentang ketepatan langkah, tetapi lebih menekankan pada keberanian melangkah. Ketakutan melangkah diikuti dengan berpikir yang terlampau panjang serta perasaan yang tak menentu, adalah bentuk nyata dari stagnasi. Boleh saja kita mengatakannya sebagai keraguan maupun ketakutan. Letak persoalannya adalah sinkronisasi antara pikiran, hati dan perbuatan. Bagaimana itu? Mari kita pelajari!
Dulu, waktu kita masih SD, mungkin kita pernah berpikir, “Wah SMP sepertinya susah ya”. Ketika kita sudah SMP, ternyata semua kita lalui begitu saja dengan berbagai pengalaman di dalamnya. Begitu juga ketika kita berada di bangku SMP, kita berpikir (tepatnya berasumsi) tentang kondisi SMA., dan seterusnya. Semua itu berada dalam pikiran kita, belum kita lakukan. Hal serupa juga terjadi ketika kita akan membuat keputusan, misalnya keluar dari pekerjaan, memulai sebuah bisnis, menikahi orang, dan sebagainya.
Kita berasumsi negatif, maka perasan kita mungkin juga turut mendramatisasi. Akhirnya akan berpengaruh pada perilaku yang kita pilih. Sayangnya, ini bukan soal ketepatan memilih, tetapi keberanian memilih, sehingga ada kemungkinan diam dan tidak memilih. Celakanya, kita menginginkan perubahan, tetapi tidak mau berubah. Dalam kondisi ini, sebenarnya kita sedang berjarak dengan perubahan yang kita inginkan. Kita tidak memasukinya. Bahkan tindakan mengulur waktu (prokrastinasi), galau, bimbang, luntang-lantung sangat mungkin disebabkan oleh kondisi ini. Pernah mengalaminya?
Terlalu banyak menganalisa, semakin berjarak kita dengan perubahan yang kita inginkan. Bukan berarti kita tidak boleh menganalisa. Itu malah bagus. Hanya saja yang perlu digaris bawahi adalah ‘terlalu banyak’. Artinya, ada ketidakseimbangan antara berpikir dan bertindak. Akibatnya, perasaan akan turut mendramatisir bagian mana dari diri kita yang terlalu mendominasi. Seperti contoh anak yang khawatir ketika akan masuk SMA, maka ia akan berpikir tentang kondisi negatifnya. Saat memikirkan kondisi negatif secara berlebihan, maka perasaan akan turut mewarnai. Maka sangat mungkin terjadi dramatisasi. Saat itulah terjadi ketidakseimbangan, dimana tindakan nyata tak berani dilakukan.
Coba bandingkan antara pebisnis lulusan SD dengan lulusan perguruan tinggi, apalagi yang negeri. Perbandngannya sengaja dibuat jauh, agar lebih mudah memahaminya. Boleh dibilang, lulusan SD akan sedikit menganalisa. Dia berpikir tentang bagaimana bertahan hidup dan menjadi sejahtera. Karena itu, apapun dilakukan untuk bisa mencapainya. Ini berbeda dengan lulusan perguruan tinggi. Berbekal ijasah dan pengetahuan, mereka menganalisa keadaan. Akibatnya, mereka mengalami masa pencarian (biasanya disebut masa tunggu) untuk mendapatkan pekerjaan. Berbagai analisa melahirkan pertimbangan dan ujungnya berdampak kepada keengganan. Mereka ingin, tapi tidak mau mengeksekusi keinginannya. Kalaupun mereka akan memulai bisnis, banyak pertimbangan eksternal diperhitungkan dengan melulu mengingkari ketakunan-ketakutannya (internal). Ini sangat berbeda dengan pebisnis lulusan SD yang langsung memilih memasuki perubahan itu sendiri.
Kalau dirunut ke belakang, ternyata ceritanya panjang. Kenapa kita berjarak dengan perubahan yang kita inginkan? Coba kita ingat lagi masa-masa kita sekolah dan kuliah. Apa yang telah kita pelajari? Sebagian orang mengingat pelajarannya, tetapi tak sedikitpun tahu bagaimana mengaplikasikannya. Sebagian lagi tahu sisi aplikasinya, tetapi sama sekali tidak pernah menggunakannya dalam kehidupan. Pendidikan kita juga berjarak dengan kehidupan. Kita teralu banyak belajar teks, dan sebagian hanya ditujukan untuk ujian, UN misalnya. Kita tak pernah menyentuh persoalan nyata, sehingga ketika sekolah berusaha berinovasi dengan praktikum atau studi lapangan, mentalnya sudah sangat tekstual. Kita belajar dengan banyak membaca, menghafal dan menggunakan kembali untuk menjawab ujian. Karena itu, praktikum yang dilakukan pun tidak lebih daripada sekadar menunaikan tugas dari guru, kewajiban dari mata pelajaran.
Kita mungkin tak pernah menyadari bahwa sumbangan terbesar bagi tidak terbentuknya karakter, keterampilan hidup (life skill) berpangkal dari cara ank-anak kita dididik di sekolah. Pendidikan kita menciptakan jarak dengan perubahan, dengan kehidupan.
Silahkan berpendapat!