Menyatunya Hablum Minallah dan Hablum Minannas
Juli 11, 2015 . by rudicahyo . in Inspirasi (Insert) . 0 Comments
Dalam berbuat baik, selalu ada level tertinggi yang sekaligus adalah level tersulit. Berbuat baik kepada orang baik, itu mudah. Tapi bagaimana dengan berbuat baik atau berteman dengan musuh kita? Di sinilah terjadi menyatunya hablum minallah dan hablum minannas.
Pada Bulan Ramadan, kegiatan rutin yang biasa aku lakukan bersama keluarga adalah makan sahur. Kamu juga kan? Pada saat makan sahur, biasanya ditemani oleh televisi. Mungkin Kamu juga kan? Makanya pemakaian listrik pada Bulan Ramadan kadang malah besar. Sebentar, kita tidak sedang akan membicarakan soal listrik kok. Kembali kepada sahur yang ditemani tayangan televisi.
Biasanya, di rumahku itu paling tidak ada dua acara yang intens ditonton, kalau tidak sinetron Para Pencari Tuhan alias PPT, ya talkshow Ini Sahur. Kalau Kamu? Nah, saat nonton PPT, ada satu scene yang isinya kurang lebih, para pegawai kebun memprotes pengurus mushola, karena tidak ada adzan. Mereka protes karena biasanya dengan adzan, mereka akan sadar kapan waktu makan, kapan waktu istirahat. Saat itu, mereka bekerja sampai melebihi waktunya. Jadi bukan protes karena tidak ada pengingat waktu sholat atau ajakan untuk sholat. Saat itu si ustadz bertanya, apakah mereka sudah pada sholat. Ternyata mereka tidak sholat. Bagian menariknya, si ustadz bilang, “Kalian itu sudah miskin, tidak sholat. Apa nilai plusnya?”, kurang lebih seperti itu.
Si ustadz sedang membicarakan tentang hubungan vertikal, antara manusia dengan tuhannya. Ini disebut dengan hablum minallah. Artinya, si ustadz sedang menekankan pentingnya berhubungan dengan Tuhan. Pada konteks ini memang mudah kita melihat persoalannya, yaitu para tukang kebun tersebut memang hubungannya dengan Tuhan sedang tidak bagus. Indikasinya adalah mereka tidak sholat. Berarti, secara mudahnya, kita bisa mengatakan, orang baik adalah orang yang hubungan dengan Tuhannya baik. Apakah cuma itu?
Dalam konteks scene sinetron di atas, memang persoalannya sedang menekankan pada hablum minallah atau hubungan dengan Tuhan, karena persoalan dari para tukang kebun tersebut memang kurang baiknya hubungan dengan Tuhan. Tapi sebenarnya, dalam konteks secara menyeluruh, orang baik juga baik dalam hubungannya dengan sesama manusia alias hablum minannas.
Berbicara tentang hubungan dengan manusia, beberapa hari yang lalu, aku ngobrol dengan anak magang yang bekerja di sebuah unit kerja yang aku pimpin. Dari obrolan panjang lebar tersebut, aku mengatakan kurang lebih begini, “Kita hanya bisa berbuat baik. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk menilai perbuatan kita baik. Karena itu, jangan berhenti berbuat baik!”. Pesannya, kita tetap harus berbuat baik, bagaimanapun penilaian orang atas perbuatan kita. Misalnya saja kita membantu orang dengan menyantuninya, tetapi di kemudian hari kita tahu kalau orang tersebut membicarakan kita, mengatakan bahwa kita riya’ atau pamer. Apakah lantas kita akan berhenti memberikan bantuan untuknya? Atau kita ngedumel dan mengungkit bantuan kita? Atau bahkan, apakah kita akan berhenti memberikan bantuan kepada sesama manusia? Apa jawabanmu?
Mungkin saja sebagian dari kita akan berhenti memberikan bantuan kepada orang tersebut karena sakit hati. Sepertinya reaksi ini yang paling potensial. Betul tidak? Meskipun beberapa orang mungkin langsung overgeneralisasi dengan berhenti membantu siapapun. Di sinilah tantangan kita ketika berbuat baik. Saat reaksi buruk kita dapatkan, kita ditantang untuk mengikhlaskan yang kita lakukan. Lebih jauh lagi, kita ditantang untuk terus melakukan perbuatan baik yang sama, bahkan kepada orang yang sama. Di sinilah letak ujian kebaikan yang kita lakukan.
Jika kasus hablum minannas ini kita sambungkan dengan hablum minallah, maka bantuan atau kebaikan yang kita lakukan untuk orang atau manusia, itu adalah urusan kita dengan Tuhan. Di sinilah letak paradox hablum minallah dan hablum minannas. Kita berbuat baik karena Tuhan memang menyuruh itu, apapun penilaian orang, bahkan penilaian orang yang kita baik-baikin. Maka dari itu, urusan kita sudah lepas setelah sebuah kebaikna kita berikan kepada seseorang. Misalnya saja kita memberikan uang kepada pengemis. Beberapa hari kemudian kita dapat kabar bahwa pengemis tersebut adalah orang yang pura-pura miskin. Apakah kita kemudian menggerutu atau mencari pengemis tersebut untuk meminta pemberian kita kembali? Jangankan meminta kembali, menggerutu saja adalah bentuk level reaksi kita atas ujian kebaikan yang kita berikan kepada sesama manusia. Urusan dia orang kaya yang pura-pura miskin, itu urusannya dia dengan Tuannya. Sementara kita memberi kebaikan kepada orang tersebut adalah urusan kita dengan Tuhan kita. Yang demikian inilah menunjukkan menyatunya hablum minallah dan hablum minannas. Ini tidak sedang membicarakan keseimbangan hablum minallah dan hablum minannas. Karena kalau berbicara tentang keseimbangan, nanti akan memunculkan persoalan dengan pertanyaan, mendahulukan yang mana? Yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kemenyatuan.
Apakah Kamu punya pengalaman yang menunjukkan paradox atau menyatunya hablum minallah dan hablum minannas?
Tag: hablum minallah, hablum minannas, insert, Inspirasi, Ramadhan