Ketika masuk masa belajar dengan material tertentu (misalnya berjalan, membaca, merangkai bentuk dsb.), anak akan mengirimkan signal. Orangtua atau pendamping harus peka terhadap signal tersebut. Kita perlu tanggap untuk memberikan rangsangan atau bantuan, agar anak belajar dengan baik. Untuk itulah diperlukan stimulasi untuk optimalisasi belajar anak.
Hari minggu kemarin, aku bermain dengan Bintang (5,5 tahun) di tamah kota. Ia berulang-ulang menaiki tangga, berjalan di jembatan titian, hingga turun di perosotan. Satu yang ingin dilakukan, karena melihat anak-anak yang lebih besar dari dirinya juga melakukannya, yaitu turun merosot dari tiang. Karena ia merasa dirinya tidak mampu, maka ia selalu berbelok dan lebih memilih titian dan perosotan. Dia sempat memberi tahuku dan ibunya bahwa ia ingin mencoba turun dari tiang. Ibunya memberikan semangat, memintanya untuk mencoba.
Aku mencoba untuk menengok, mendekati tiang yang ingin dijadikan alat untuk terjun. Bintang mulai menaiki tangga dan mendekati tiang. Ia memanggilku, menyatakan keinginannya untuk melorot lewat tiang. Tapi dia menghentak-hentakkan kakinya, protes bahwa ia tidak bisa melakukannya.
Aku memintanya memegang tiang dengan satu tangannya. Ketika sudah berhasil, aku coba memintanya untuk menyusulkan tangan satunya agar ikut memegang tiang jua. Sejauh ini ok. Tapi tiba-tiba ia mengurungkan niatnya lagi. Ia lepaskan kedua tangannya dari tiang.
Seorang anak yang berdiri tepat di belakangnya sedang mengantri. Anak tersebut mendahului Bintang. Ini menjadi kesempatan berharga agar Bintang bisa melihat anak tersebut terlebih dahulu. Anak itu memang lebih besar dari Bintang. Maka ku katakan pada Bintang, “Coba lihat Kakak ini, bagaimana ia melakukannya!”. Bintang mengamatinya, dan terlihat ia tidak sabar untuk mencobanya.
Bintang tidak langsung melakukan caranya yang sudah ia coba, yaitu memegang tiang dengan kedua tangannya. Ia lebih memilih untuk duduk, agar jarak antara tempatnya berdiri tidak terlalu tinggi dari tanah. Setelah duduk, ia memeluk tiangnya dan jadilah ia melorot lewat tiang itu sampai ke bawah. Pada saat itu, ia diberikan bantuan oleh seseorang yang ada di dekat tiang.
Selanjutnya, Bintang tak sabar untuk mencoba lagi. Ia naik tangga dan mendekat lagi ke puncak tiang. Sekarang, ia mempraktikkan caranya yang ku ajarkan pada kesempatan pertama, yaitu memegang tiang dengan kedua tangannya. Orang yang tadi membantu Bintang, ingin memegang kaki Bintang dan meletakkannya di tiang, agar kakinya merangkul tiang. Tapi karena aku sendiri sama sekali tidak membantu atau tidak menyentuh Bintang, orang yang akan membantu tersebut cukup peka. Ia juga tidak memegang kaki Bintang. Orang itu mencolek kaki Bintang dan menunjuk ke tiang. Hasilnya, setelah kedu tangan Bintang berpegang pada tiang, kedua kakinya merangkul tiang. Ia berhasil melorot dari atas ke bawah dengan menggunakan tiang. Ia sanga girang. Kemudian dia mengajak toss dengan semangat.
* * *
Secara tidak sengaja, aku menerapkan konsep belajar dari Vygotsky. Untuk lebih lengkapnya, baca tulisanku tentang Zone of Proximal Development. Simak juga videonya berikut ini!
* * *
Ada lagi cerita yang berbeda. Kali ini adalah cerita tentang keponakanku (lebih kurang 6 tahun) yang ku beri hadiah sepasang sepatu. Ia aku belikan sepatu yang menggunakan tali.
Ketika sepatu tersebut ku berikan kepadanya, ia berkata, “Lho kok pake tali!”. Ia melirik ke arah ibunya. Si ibu bilang, “Wah, seharusnya jangan yang pake tali…! Seharunya sepatu kretekan aja”. Dengan santai aku cuma bilang, “Ya nanti pada akhirnya akan bisa kok”.
Beberapa bulan kemudian, sepatu hadiah tersebut dikirimkan kembali kepadaku melalui kakek dan neneknya. Karena terlalu besar jika diberikan kepada Bintang, sepatu tersebut ku simpan beberapa bulan. Nah, sekarang sepatu tersebut ku berikan kepada Bintang (5,5 tahun).
Awalnya, Bintang minta bantuan untuk diikatkan talinya. Tapi ia merasa tidak puas kalau tidak mengikat sendiri. Ia coba mengikat sendiri. Hasilnya, ia mengikat tali sepatu itu seperti kepang rambut hahaha.
Beberapa hari tetap aku bantu menalikannya. Tentu saja ketika ia meminta atau aku menawarkan terlebih dahulu kepadanya, apakah ia mau dibantu atau tidak. Gurunya juga melakukan hal yang sama. Kadang ia juga menalikan sepatunya di perjalanan.
Seminggu berikutnya, Bintang dengan bangga mengatakan bahwa ia bisa menalikan sepatunya sendiri. Untuk mengapresiasinya, aku menerima undangannya untuk menyaksikan dia memeragakan kebolehannya menalikan sepatu. Wow, aku terkesima dengan kemajuan yang dibuat oleh Bintang. Meskipun belum terikat dengan erat, tapi caranya menali sudah persis dengan yang biasanya aku lakukan.
Coba bandingkan antara keponakanku dengan Bintang. Seandainya sepatu yang ku berikan dulu itu dipakai, pasti ia sudah menalikan sepatu sendiri. Sampai sekarang keponakanku sepertinya masih memakai sepatu kretekan.
* * *
Cerita yang kedua juga berhubungan dengan Zone of Proximal Development. Kita tidak hanya merespon signal belajar anak, seperti di cerita yang pertama. Proses yang terjadi seperti pada cerita tentang Bintang yang bermain di taman kota, yaitu anak mengirimkan signal belajar, baru orangtua atau pendamping memberikan bantuan (asistensi). Setelah anak bisa mandiri melakukannya, barulah bantuan dihilangkan (scaffolding). Pada cerita kedua, signal itu bisa muncul karena adanya stimulasi. Nah, stimulasi yang tepat dapat mengoptimalkan belajar anak. Potensi yang belum nampak bisa muncul sebagai signal belajar ketika kita memberikan stimulasi, misalnya dengan memberikan sepatu yang menggunakan tali.
Simak juga video berikut ini!