Setiap orang pasti terlibat dalam sebuah moment membuat keputusan. Dalam membuat keputusan, orang tersebutlah yang menentukan, yaitu dengan modal determinasi diri. Namun determinasi diri bisa melemah pada saaat akan, sedang, atau setelah membuat keputusan.
Beberapa waktu yang lalu, ada cerita menarik dari seorang teman yang berusaha aku hubungkan dengan beberapa pengalamanku yang telah lalu. Temanku ini adalah seorang atasan baru dari sebuah divisi di perusahaan tempat ia bekerja. Suatu ketika, ia harus membuat keputusan atas sebuah projek besar. Ada bawahannya yang meragukan keputusannya. Sebenarnya tidak sekali atau dua kali bawahannya meragukannya. Sebagian dari keputusannya diubah karena bawahannya selalu tidak setuju dan menyarankan keputusan lain. Dan ia berpikir bahwa ia membuat keputusan yang tepat dengan mengikuti saran bawahannya. Dan memang benar, hasilnya bisa dibilang bagus.
Namun sesekali, temanku ini membuat keputusan dengan pertimbangannya sendiri. Lagi-lagi bawahannya meragukannya. Bahkan si bawahan menghubungi kepala divisi lama dan menggunakan saran kepala divisi lama sebagai dasar untuk menyarankan hal lain. Lagi-lagi, hal itu cukup menggoyahkan keputusan temanku. Ia berpikir, jika ia melakukan kesalahan, maka orang akan bilang, “Tuh kan, apa aku bilang!”. Dan ia akan salah berkali-kali dan dicibir berulang-ulang. Apa hasilnya? Ya, hasilnya, keputusannya benar, dengan mengikuti keputusan orang lain.
Dan kemarin, ia kembali bercerita tentang hal yang sama. Aku tak pernah bosan mendengarkannya, karena aku selalu banyak belajar dari ceritanya yang sama. Hanya saja, kali ini berbeda. Ia membuat keputusan atas pertimbangannya sendiri. Seperti yang ia duga, bawahannya kembali menggoyahkan keputusannya. Namun kali ini ia bertahan. Tapi tidak mudah untuk bertahan dengan pendapatnya. Ia berpikir, bagaimana kalau kali ini ia salah? Tentunya tidak hanya bawahannya yang akan menertawakan, termasuk juga kepala divisi yang lama. Bagaimana hasilnya? Hasilnya masih belum tahu. Karena itulah ia masih dalam kecemasan menantikan hasil dari keputusannya ini. Selain itu, ini juga pertaruhan, karena ia harus berusaha yang terbaik untuk membuktikan hasil yang bagus dari keputusannay tersebut.
Baca tulisan terkait:
- Apa yang Membangun Determinasi Diri Kita?
- Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?
- Mekanisme Pertahanan Ego dalam Psikoanalisa Freud
- Mencegah Kecemasan Akibat Over Antisipasi
Terlepas bagaimanapun hasilnya, teman saya ini telah mengalami penggerogotan determinasi diri oleh lingkungannya. Lebih tepatnya oleh dirinya sendiri. Karena berbicara determinasi diri, orang yang bersangkutanlah yang menentukan apakah determinasi dirinya kuat atau tidak.
Namun mari kita perhatikan bagaimana determinasi diri temanku ini bisa melemah. Ia melemahkan determinasi dirinya mulai dari ketika akan, saat dan setelah membuat keputusan. Untuk yang terakhir, lebih tepatnya saat ia membayangkan hasil dari sebuah keputusan.
Ketika akan membuat keputusan, ia terlampau menyandarkan diri kepada lingkungan atau orang lain. Ia menempatkan diri sebagai orang yang lemah dibandingkan orang lain di sekitarnya. Lebih-lebih, ia terbebani oleh orang lain yang lebih lama berada di divisinya. Hasilnya determinasi diri sebagai kepala divisi menjadi lemah.
Saat keputusan dibuat, juga terjadi pelemahan determinasi diri. Keragu-raguannya diletakkan diantara menang dan aman. Ia merasa tidak aman jika mengikuti pendapatnya sendiri. Ia sebenarnya tidak sedang berusaha meraih kemenangan. Kemenangan hanya menjadi efek. Jika menang, maka ia membuat keputusan yang benar. Jika kalah, maka itu bukan keputusan yang salah. Lebih tepatnya bukan salahnya dia.
Pasca membuat keputusan, ia juga melakukan pelemahan determinasi diri. Lebih tepatnya memang bukan benar-benar pasca pengambilan keputusan, karena sampai saat ini, hasilnya juga belum ada. Hasilnya baru akan diketahui setelah projek selesai di akhir bulan. Namun yang ia lakukan adalah membayangkan hasilnya. Ia takut kegagalannya mendatangkan ketidakamanan, seperti yang dijelaskan di paragraf sebelumnya. Namun kali ini ia berusaha mempertahakan keputusannya meskipun tetap dilemahkan oleh lingkungannya.
Untuk kali ini, apakah temanku membuat keputusan yang tepat? Kalau aku sih berani bilang bahwa ia mengambil keputusan yang tepat. Segala keputusan yang diambil atas dasar determinasi diri yang kuat, itu sebuah langkah benar, terlepas apakah hasilnya bagus atau tidak.
Jadi, kalau Kamu mengalami hal yang sama seperti yang dialami temanku, maka saranku, buatlah keputusan yang tepat dengan dasar determinasi diri yang kuat. Selama hal tersebut dilakukan, maka keputusan tersebut adalah yang paling tepat. Hasilnya? Itu adalah efek, seperti yang diyakini oleh temanku. Toh jika temanku mengikuti keputusan bawahannya, belum tentu hasilnya lebih baik dari keputusannya sendiri. Ini adalah persoalan lama tentang dilema pilihan. Jika kita memilih B, maka kita tidak bisa membandingkan hasilnya dengan JIKA kita meilih A. Kita tidak bisa membandingkan dengan pilihan yang tidak kita pilih, atau pilihan dengan kata JIKA.
Satu hal lagi. Bagaimanapun hasilnya, jika temanku mengikuti keputusan bawahan, tidak akan mengubah kata-kata, “Bener kan yang aku bilang!”. Jika keputusan yang berasal dari bawahan berdampak hasil yang bagus, maka ia akan bilang, “Benar kan yang aku bilang!”. Tapi jika hasilnya tidak bagus, kata-kata tersebut tetap ada, meskipun tidak diucapkan. Artinya, hasil yang tidak bagus tersebut sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan pilihan lain. Dan tentu saja tidak beralasan jika ia membalas dengan berkata, “Benarkan yang aku bilang!”.
Terakhir, jadilah pribadi dengan determinasi diri yang kuat. Bukan berarti menutup diri dari saran atau kritik. Saran atau kritik tetap menjadi salah satu sumber bahan baku dalam membuat keputusan. Namun saat memutuskan, kitalah yang menentukan.
Pertanyaan yang langsung menghujam adalah, apakah determinasi diri Kamu sudah kuat? Silahkan dijawab dengan alasannya ya…