Kesehatan Mental Di Tempat Kerja


Kesehatan mental menjadi kebutuhan yang tak kalah pentingnya, disamping kesehatan fisik, dimanapun kita berada, termasuk di tempat kerja. Sudah cukup sehatkah mental kita di tempat kerja?

Sehubungan dengan Hari Kesehatan Mental Dunia yang jatuh pada 10 Oktober, tulisan ini tergolong telat. Tapi itu cuma soal momentum. Mengaji dan membangun kesehatan mental masyarakat adalah upaya yang tak terikat waktu dan tempat, baik dengan adanya peringatan atau tanpa peringatan, baik di rumah maupun di tempat kerja.

Sehubungan dengan kesehatan mental di tempat kerja, berarti kita berbicara tentang keterkaitan pekerjaan dengan kondisi mental kita sebagia pekerjanya, apapun pekejaan kita. Masih ingat dengan Chester Bennington, vokalis Lilnkin Park yang meninggal pada 20 Juil 2017 lalu? Beberapa bulan belakangan juga terjadi kasus bunuh diri yang direkam di media sosial, dan yang paling menggemperkan adalah yang terjadi di negera kita, yaitu PI yang kematiannya direkam di facebook. Konten ini segera diblokir oleh facebook atas permintaan Kemenkominfo.

Belajar dari kasus bunuh diri tersebut, maka kondisi mental bangsa ini sudah sedemikan mengkhawatirkan. Ketidaksehatan mental yang bersifat individual tersebut sekarang sudah merambah ranah publik. Artinya, aksi serupa telah ditawarkan menjadi cara alternatif untuk menyerah terhadap hidup.

Berawal dari banyak anteseden dan bertepatan dengan Hari Kesehatan Mental Dunia, berbagai pihak beruapaya untuk mewujudkan atmosfir yang sehat untuk membangun mental yang sehat, termasuk di lingkungan kerja. Ada yang berupaya mengajinya, dan ada pula yang berusaha mencari solusinya. Perhatikan tulisan di social media berikut ini:

Tulisan yang saya tangkap tersebut menunjukkan bahwa mengaji atau mengupayakan kesehatan mental, perlu mencermati dua hal, yaitu isi dan cara atau media. Begitupun ketika berbicara tentang kesehatan mental di tempat kerja, kita seharusnya mencermati kedua hal tersebut. Isi berkenaan dengan beban kerja atau isi pekerjaan, sedangkan cara atau media berkenaan dengan bagaimana pekerjaan tersebut dijalankan. Dengan bertolak pada dua hal tersebut, kita bisa mengenali pemicu sakit mental di dunia kerja, apakah karena beban kerja, karena cara/media kerja yang tidak sesuai, atau karena keduanya.

Namun fenomena yang lebih unik dari pemilahan kedua sumber sakit tersebut, yaitu bergesernya dari substansi kepada hal yang nonsubstansial. Misalnya saja di pekerjaan kita, yang substansial adalah tentang tugas atau pencapaian target. Di tengah jalan, tanpa disadari kita terjebak pada caranya. Jika memang luaran akhirnya pada pencapaian tujuan, maka cara adalah jalan, bukan substansi. Namun sebaliknya, jika titik tekannya pada proses pembelajaran, maka cara menjadi hal yang penting.

Mari kita cermati pertanyaan tanggapan atas dua tulisan pada gambar di atas. Seseorang bertanya, “Bagaimana dengan pelaksanaan Tri Dharma di perguruan tinggi?”. Ok, mari kita cermati dengan kacamata substansi dan bukan substansi, antara tujuan dan cara.

Secara etimologi, Tri Dharma Perguruan Tinggi dapat diartikan tiga kewajiban di perguruan tinggi. Artinya, ada tiga hal yang harus dikembangkan atau dilaksanakan di perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian masyarakat. Pertanyaannya, apkah ketiga hal tersebut adalah tujuan atau cara, apakah tiga hal tersebut adalah substansi atau wadah? Jika terjebak kepada yang bukan substansi, maka bisa jadi hal itu membebani. Jika tiga kewajiban tersebut diartikan ‘harus telaksana’, maka beban akan beralih kepada pelaksanaan. Artinya, tiga hal tersebut wajib dilaksanakan oleh setiap person yang ada di dalamnya, dalam hal ini dosen. Hal ini lah yang membuat kita terjebak pada keriuhan pelaksanaannya, bukan isi yang dilaksanakan. Dosen berusaha memenuhi tiga hal tersebut sebagai kewajiban. Ditambah lagi dengan tujuan yang bergeser, dari isi publikasi kepada angka kredit dari terlaksanakannya kewajiban. Begitu pula dengan standar scopus dari publikasi. Ini semakin menggeser jaduh dari Tri Dharma. Bahkan Tri Dharma bisa tersandera oleh penjajah baru yang berlabel scopus. Hasil karya bukan lagi dilihat dari nilai guna atau aplikasinya, tetapi dipatok oleh popularitas di dunia yang semakin tak nyata. Ini juga analog dengan konflik yang dipicu oleh ditemukannya teknologi yang disebut uang, yang menggeser kebutuhan dari barang yang substansial kepada simbol alat pembelian/pertukaran.

Bergesernya dari substansi ini membuat kita semakin mengejar sesuatu yang tak nyata, yang sayangnya hal tersebut berbalik mengontrol kehidupan kita. Bagaimana bisa sejahtera secara mental, sementara kita hidup di standar kesehatan yang tak kita butuhkan. Kita hidup di standar kesejahteraan yang tak substansial bagi hidup kita. Kapan kita berani menggali kekuatan diri, hidup untuk kebutuhan yang paling substansial, serta melakukannya dengan cara kita yang paling sesuai. Ini (bisa dibilang salah satu) pemicu kerentanan mental adalah mulai dikendalikannya kita sebagai pencipta oleh sesuatu yang kita ciptakan, lebih parah lagi jika diciptakan oleh orang lailn.

Sudah cukup sehatkah mental kita di tempat kerja?


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *