Benarkah Televisi Menyebabkan Keterlambatan Berbicara?
July 30, 2013 . by rudicahyo . in Psikologi Populer . 0 Comments
Siapa yang tidak kenal televisi. Hampir setiap rumah punya alat elektronik ini. Jika anak terbiasa menyantap hidangan ‘kotak ajaib’ ini sejak kecil, maka ada kemungkinan anak mengalami keterlambatan berbicara.
Ada seorang ibu yang mengirimkan email kepadaku tentang anaknya. Curhatan yang tentu saja diakhiri dengan pertanyaan.
Anaknya yang sekarang berusia 3 tahun belum bisa berbicara. Hanya satu dua kata tidak jelas yang kadang meluncur dari mulutnya. Pertanyaan yang meluncur dari sini adalah mengapa dan bagaimana.
Ok, kita akan bahas dulu tentang ‘mengapa’nya. Tentu saja pertanyaan dari ibu tersebut tidak hanya diawali oleh pengantar satu paragraf yang hanya terdiri dari dua kalimat. Ada cerita lanjutannya.
Si anak, sebut saja Nana, lebih sering bersama nenek dan sepupunya di rumah. Namun sepupunya jarang berinteraksi, karena sering sibuk sendiri. Selain itu, sepupunya juga mengalami gangguan pendengaran. Bersama neneknyalah ia sering berinteraksi.
Namun, interaksi Nana dengan nenek lebih menyerupai antara penjaga dan yang dijaga. Neneknya berkomunikasi sedikit dan lebih banyak menunggu dan memenuhi kebutuhannya. Karena neneknya suka nonton televisi, maka anak juga ikut nonton. Karena anak senang menyaksikannya, maka nenek beranggapan, itulah yang dibutuhkan oleh anak. Si anak senang, nenek pun ikut senang.
Hal ini berlangsung mulai dari Nana kecil sampai usia 3 tahun sekarang ini. Ayah dan ibunya sibuk bekerja, karena itu mereka menyerahkan perawatan sehari-hari Nana kepada nenek.
Nah, kondisi inilah yang ada hubungannya dengan keterlambatan Nana dalam berbicara. Nana lebih banyak menerima informasi secara pasif. Menyerap dan menyimpannya. Televisi adalah media yang bekerja dengan cara melayani total. Televisi menyajikan audio dan visual secara lengkap. Sekali sebuah siaran, bahkan sepenggal tayangan, menarik perhatian anak, maka ia punya potensi membuat anak terpaku padanya.
Pada saat terpaku (boleh disebut juga terhipnotis) inilah anak menerima semua dan menyimpannya. Hal inilah yang membuat otak bekerja secara pasif, menerima dan merekam.
Apakah otak tidak bisa berpikir aktif ketika nonton televisi? Tentu saja masih mungkin. Namun sifat dari televisi tidak hanya media pasif, tetapi dapat mem-pasif-kan. Perhatian orang dewasa saja, yang tertuju pada televisi, hanya bisa aktif di hitungan menit-menit awal. Setelah itu, orang akan menjadi manja dan lebih suka dilayani. Artinya, ia akan menerima dan menabung sajian dari televisi. Pada akhirnya akan menjadi pasif juga. Nah, coba bayangkan kalau itu anak-anak.
Otak anak bekerja seperti spons. Sejak awal mereka sudah menyerap begitu saja, menerima tayangan televisi secara pasif. Jika ini berlangsung terus menerus, maka kebiasaan pasif ini akan melembaga (terinternalisasi). Akibatnya, otak akan bekerja secara referensif (merekam), bukan transformatif (mengubah atau mengolah).
Sehubungan dengan keterlambatan berbicara, apakah lantas anak-anak yang sudah mencandu televisi tidak akan bisa berbicara? Sebenarnya bukan tidak bisa berbicara, tetapi terlambat berbicara. Ini jelas beda. Terlambat berbicara, berartu suatu saat nanti anak akan bisa berbicara juga. Ada yang sampai 3 tahun atau sampai 5 tahun.
Namun, kalau sudah mencapai 4 atau 5 tahun, orangtua perlu waspada. Jika anak ingin bisa berbicara, maka butuh stimulasi. Dengan apa? Tentu saja dengan mengajaknya bicara. Bercerita atau membacakan cerita juga bisa jadi alternatif ampuh untuk menstimulasi kemampuan berbicara anak. Dengan stimulasi, apa yang diserap dari televisi bisa direalisasikan dalam komunikasi. Namun jika anak terus mengonsumsi dan mencandu televisi tanpa ada stimulasi, maka bisa jadi anak tidak hanya mengalami keterlambatan berbicara, tetapi malah kesulitan berbicara.
Jadi, yang sekarang masih membiarkan anak nonton banyak televisi tanpa didampingi dan diberi stimulasi, maka segera kurangi atau hentikan. Sebagai fondasi perkembangannya, interaksi yang hidup sangat penting bagi anak. Orangtua adalah aktor utama. Jangan biarkan televisi merenggut kesempatan anak untuk bisa berbicara.
Apakah Kamu sudah mengatur bagaimana anak menyaksikan televisi?
Artikel tentang Psikologi Populer Lainnya:
- Apa Dampak Berasumsi Negatif bagi Kesehatan Jiwa Kita?
- Struktur Kepribadian Menurut Sigmund Freud
- Pekerjaan atau Anak?
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- Bagaimana Film Amazing Spiderman di Mata Psikologi?
- Perkembangan Moral Kohlberg
- Penarikan Simpulan yang Sesat atas Diagnosis Psikologi
- Pentingnya Memahami Term dan Definisi dalam Membuat Laporan Psikologi
- Apa yang Melemahkan Determinasi Diri dalam Membuat Keputusan?
- 5 Prinsip Pengelolaan Waktu Istirahat untuk Menghasilkan Tindakan Efektif
- 7 Efek Tertawa dari Hati
- Hiper Realitas Media Sosial, Bagaimana Nasib Generasi Muda?
- Personal Well Being, Apa dan Bagaimana?
- Kesehatan Mental Di Tempat Kerja
- Apakah Kita Benar-Benar Memiliki 'Me Time'?
- Harmonisasi Pola Alamiah Diri dengan Pekerjaan
- 5 Jurus Lepas dari Stagnasi
- Kronologi Proses Keluhan Mengebiri Solusi
- Belajar Prinsip Hidup dari Film The Fan
- Pentingnya Detoksifikasi Kecanduan Pornografi
- Mekanisme Pertahanan Ego dalam Psikoanalisa Freud
- Paradigma Berpikir Bisa Menjadi Candu
- Bagaimana Seseorang Dapat Larut dalam Pekerjaan?
- Teori Belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike
- Belajar Pembentukan Perilaku dengan Observational Learning Bandura
- Fokus kepada Kebahagiaan, Kunci Keberhasilan
- Sudut Pandang Psikologi: Pembentukan Karakter di Film Joker
- Dua Golongan Orang yang Mampu Menaklukkan Kehidupan
- Ketika Suami Bilang, "Lebih Cantik Istriku", Percaya?
- Daily Parenting, Rugi Jika Tak Memiliki Buku Ini
- Proses Pembentukan Pribadi Pengeluh
- Need Sebagai Motif dalam Hierarkhi Kebutuhan Maslow
- Ingin Membunuh Kreativitas Anak? Lakukan 5 Hal Berikut Ini!
- KKN di Desa Penari, Antara Fakta dan Fiksi
- Apakah Sigmund Freud Sex Oriented?
- Simplifikasi: Persiapan Menjadi Tester Handal untuk Psikotes
- 8 Dampak Ketagihan Gadget pada Anak
- Memetakan Sumber Penghasilan dengan Inventarisasi Kekuatan
- 6 Prinsip Penyelarasan Tugas untuk Menjaga Motivasi di Masa Transisi
- 5 Cara Menciptakan Atmosfir yang Berenergi
- 5 Faktor Penghambat Psikologis dalam Memulai Bisnis
- 5 Kondisi Lingkungan Kerja yang Berdampak pada Pemberdayaan Diri
- Apa Sumber Makna dalam Hidup Kita, Isi atau Bungkus?
- Bagaimana Hierarchy of Needs Abraham Maslow Melihat Motif Berpuasa Kita?
- Mencegah Kecemasan Akibat Over Antisipasi
- Kekuatan Pikiran Kita Dapat Membentuk Orang Lain
- Hati-Hati, Persepsi Negatif Bisa Menguasaimu!
- 3 Cara Memfokuskan Kekuatan Diri
- Bagaimana Pola Ketergantungan Terbentuk?
- Ingin Merasa Bahagia dengan Aktivitas Kita? Hilangkan Variabel Waktu!
- Video Mesum BEREDAR Lagi, Inikah Sifat Alamiah RAHASIA?
- Bentuk Tulisan untuk Meredakan Kegalauan
- Faktor Penguat Tingkat Kepercayaan Orang kepada Kita
- Optimalisasi Internet Mengubah Struktur Ruang dan Waktu
- Kekerasan Seksual pada Anak di Mata Psikologi
- Pola Adaptasi dan Pembentukan Mental Kita
- Sayangnya, Kehidupan Nyata Itu....
- Selective Mutism, Jangan-jangan Anak Kita...
- Pengalaman Kecil yang Menguatkan Hubungan dengan Pasangan
- Membongkar Kompleksitas Ikhlas dari Kehidupan Sehari-hari
- Peran Imajinasi di Tiga Area Penciptaan
- Sekilas Cerita tentang Oedipus Complex
- Tabula Rasa, Apakah Anak-Anak Sehelai Kertas Putih?
- Menjadi Bahagia dengan Membunuh Waktu. Bagaimana Caranya?
- Pola Perilaku Baru dalam Belajar Sebagai Dampak Teknologi Informasi
- Dampak Individual dan Sosial dari Perfeksionisme
- Bersujud adalah Obat Psikologis yang Ampuh
- Kamu Menyebutnya Kesadaran
- Kompleksitas Kehidupan Berawal dari Logika Geometri
- Teori Perkembangan Moral Kohlberg
- Bagaimana Memelihara Imajinasi Anak Tetap Menyala?
- Hati-Hati dengan Pembentukan Karakter oleh Teroris
- 6 Pelajaran Kompleksitas Emosi dari Film Inside Out
- Mengelola Dampak Adiksi Gadget pada Anak
- Motif Mempengaruhi Loyalitas
- Apa Perbedaan Berpikir Analitis dan Berpikir Kreatif?
- Perbedaan antara Kebenaran dan Pembenaran
- Reaksi Spontan Atas Ketidaknyamanan Dapat Membentuk Pribadi Kita
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- Punya Banyak Waktu Luang? Hati-Hati dengan Bahaya Menganggur
- Zone of Proximal Development dan Scaffolding pada Teori Belajar Vygotsky
- Hilangnya 3 Hal yang Menjauhkan Diri dari Kebahagiaan
- Psikologi Humanistik: Dengan Teknologi, Belajar Dimanapun Bisa Dibagi
- Kenapa Anak Lebih Suka Membaca atau Mengoperasikan Angka?
- Menguasai Emosi Orang Lain melalui Disonansi Kognitif
- Ikigami (Death Notice), The Ultimate Limit, Eksistensi Diri Menjelang Kematian
- 5 Langkah Detoksifikasi Kecanduan Pornografi
- Menjadi Orangtua Itu Sangat Intuitif. Percaya Sama Ahli Parenting?
- Senang dan Sedih juga Dipelajari
- Karakteristik Anak Berdasarkan Kesukaannya Membaca atau Mengoperasikan Angka
- Kinerja Optimal dengan Menyiasati Aspek Kecepatan dan Ketelitian Kerja
- Berkubang dengan Masalah atau Membudayakan Solusi?
- Efek Akun Pencitraan Buat Pemiliknya
- Hidayah Tak Datang dengan Mudah
- 5 Situasi yang Memudahkan Mengenali Diri Sendiri
- Tiga Cara Meningkatkan Motivasi dari Dalam Diri
- Terapi Psikologi: Menyembuhkan Gejala atau Penyebabnya?
- Level Kerumitan Persoalan Psikologis
- Abnormalitas adalah Normalitas yang Diingkari
- Teori Motivasi dari Abraham Maslow