Psychology | Learning | Parenting | Writing | Education

 

Rejeki Ramadhan di Kala Puasa

July 28, 2012 . by . in Catatan Bebas . 0 Comments

Pernah lupa ketika puasa? Beruntunglah orang yang pernah mengalaminya. Karena di balik kelupaan itu adalah rejeki. Iya, rejeki Ramadhan di kala puasa. Begitu katanya. Ngomong soal lupa ketika puasa, ada ceritanya nih..

Sumber Gambar @rudicahyo instacanv.as

Hari ini sedang bertugas ke Bondowoso untuk melakukan asesmen penjaringan dan penyaringan untuk kelas akselerasi. Sebelum ke kota tujuan, kita nginepnya di Jember. Lho kok jauh? Iya, karena memang ada dua kerjaan. Tim dibagi menjadi dua, ada yg di Jember dan ada yang di Bondowoso.

Perjalanan di mulai dari Surabaya jam 13.45 WiB. Karena posisiku di Sidoarjo, maka ku tunggu di Sidoarjo kisaran setengah tiga. Meski tak tepat waktu, akhirnya mobil yang ditunggu nongol juga.

Terjadi satu kali proses penjemputan lagi. Sang manajer menunggu di rumahnya, di kota kecamatan tetangga. Ya masih Kabupaten Sidoarjo juga.

Nah, ketika Bu Manajer sudah di mobil ini, obrolan pertama adalah tentang kantuk. Anak magang yang duduk di samping sopir diminta untuk tidak tidur, karena memang anaknya terkenal suka tidur kalau naik kendaraan. Aku banget kalau soal tidur ini hehe.

Aku juga pernah diminta mendampingi sopirnya. Meski bisa bertahan, pasti ada waktu-waktu dimana mata ini nakal, mengambil jatahnya untuk merem. Beruntunglah kali ini aku tidak berada di samping kemudi. Tapi kalau lagi tidak puasa, di samping sopir enak juga kok, bisa lihat pemandangan di depan.

Karena sedang tidak berada di samping kemudi, aku enak saja memeremkan diri. Niatnya sih memang tidak tidur, tapi mata nagih juga. Tertidurlah sejenak, meski tidak lama.

Biasanya, kalau habis tidur, meski sebentar, tenggorokan ini rasanya kering. Sayangnya dan sekaligus alhamdulillah-nya, tepat di sampingku ada stok air mineral gelas, lengkap dengan sedotannya.

Begitu terbatuk karena tenggorokan kering, mata melek dan pas betul ngadepnya, ke arah dimana tiga gelas air mineral sedang teronggok santai. Tangan langsung cekatan menyambarnya, membuka plastik pembungkus sedotan, menusukkan ke gelas, dan… Glek glek.. Dua teguk masuk ke tenggorokan.

Ada yang janggal. Aku merasakan mulutku pahit. Seketika tersadar bahwa hari itu matahari masih sumringah dengan cerahnya, dan masih berpuasa tentunya. Sayangnya, kok cuma dua teguk ya, kecepetan ingatnya hahaha.

Aku kembalikan segera gelas ke posisinya. Berlagak seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Untunglah Bu Manajer sudah pindah mobil waktu sampai di Bangil. Jadi tidak ada kehebohan yang berarti.

 

Kejadian ini mengingatkanku pada pengalamanku ketika masih kecil, waktu pertama kali belajar puasa. Anak-anak di desaku berloma untuk saling adu kuat berpuasa sehari penuh, termasuk aku juga ikutan. Akan sangat membanggakan kalau sampai kuat puasa sehari penuh. Ini berbeda dengan orangtua yang menyuruh untuk puasa setengah hari saja. Baik juga sih maksudnya. Mungkin khawatir dengan kesehatanku.

Di siang yang menyengat dengan tenggorokan yang terbakar, aku keluar rumah. Sebelum keluar rumah, aku melihat sesuatu yang menarik di atas meja belajar. Aku sambar saja benda itu.

Aku menuju ke toko orangtuaku yang letaknya terpisah dari rumah. Yang menjaga toko waktu itu adalah ibuku. Kebetulan waktu itu ada teman-temanku yang sudah berkomitmen untuk adu kuat puasa sehari penuh.

Seperti biasa, ibu mengingatkan lagi, “Le, poso setengah dino wae. Iku mesisan buko (Nak, puasa setengah hari saja. Itu sekaliah berbuka)”.

Aku menganggap apa yang dikatakan ibu dengan ‘sekalian berbuka’ berarti buka setengah hari, karena memang waktu itu terdengar adzan duhur. Yang puasa setengah hari boleh makan kalau sudah duhur, dan segera puasa lagi sampai maghrib.

“Ndak Bu, aku kuat poso sedino ful (Tidak Bu, aku kuat puasa sehari penuh)”, dengan gaya jagoan yang menunjukkan otot-ototnya. Padahal pas keluar rumah tadi aku jalannya sudah klelat-klelet (seperti macan lapar).

Sementara teman-temanku yang menyaksikan itu tertawa cekikikan. Aku pikir mereka menertawakanku hanya karena aku diperingatkan untuk puasa setengah hari. Mereka mengolokku karena cemen banget, ibuku menyuruh puasa setengah hari.

“Lha iku opo? (Lha itu apa?)”, kata ibu sambil menunjuk mulutku.

Kontan teman-temanku tertawa meledak. Mereka ngakak sejadi-jadinya.

Astaga, mulutku penuh dengan permen mint yang aku sambar dari atas meja belajar tadi. Jadi aku ngomong tadi itu sambil ngulum permen. Ternyata kata ‘sekalian berbuka’ dari ibu berarti aku disuruh sekalian berbuka, karena memang di mulutku sudah ada makanan.

Kontan aku muntahkan permen mint di mulutku. Aku lari menuju kamar mandi rumah yang ada di dekat tokoku. Aku berkumur buat memberihkan rasa mint yang masih lengket.

Nyaris setengah hari sisa berpuasa itu aku murung, memikirkan puasaku. Aku menyesal, kenapa kok bukan nasi goreng yang ku embat waktu itu hehehe. Tidak tidak, aku takut, jangan-jangan puasaku batal. Tapi orang yang punya kamar mandi, yang tadi aku pake buat berkumur, ngedem-ngedemi (membersarkan hati). Ia bilang, kalau lupa itu tidak apa-apa. Puasanya tetap sah.

 

Begitulah pengalamanku ketika lupa waktu puasa. Apakah Kamu punya pengalaman lupa ketika berpuasa? Gimana tuh ceritanya?

 

0.00 avg. rating (0% score) - 0 votes
Tags: ,

Artikel tentang Catatan Bebas Lainnya:

by

Creative Learning Designer | Parenting Consultant | Writing Coach


 

Post a Comment

Your email is never published nor shared. Required fields are marked *

*
*

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>