Setiap guru ataupun orangtua memiliki orientasi mendidik pada anaknya. Namun kadang para guru dan orangtua tidak menyadari bahwa yang dilakukan sudah mengarah kepada mendikte, bukan mendidik. Mari kita berefleksi, apakah kita sedang mendidik atau mendikte?
Sering kita melihat anak yang berhasil karena diarahkan oleh orangtuanya. Cita-cita, hobi, harapan, semua diarahkan oleh orangtuanya. Saat anak tersebut sudah dewasa dan bekerja, orangtuanya melihat ia berhasil. Orangtuanya boleh bilang, “Tuh kan, apa ku bilang”, dengan perasaan menang. Namun bagaimana dengan perasaan anak?
Jika anak menginginkan hal yang sama seperti yang diharapkan orangtuanya, itu tidak menjadi masalah. Namun jika sebenarnya keinginan anak berbeda, maka kebahagiaan anak tergantung pada, apakah ia bisa mendamaikan tujuan pribadinya dengan harapan orangtua. Sayangnya, banyak anak yang tidak berhasil mendamaikannya.
Pada ilustrasi cerita yang berbeda, saya pernah punya pengalaman yang berkebalikan. Saya seorang dosen yang membimbing mahasiswa skripsi maupun praktikum. Saya selalu terbuka pada gagasan mahasiswa. Menjadikannya teman diskusi untuk mengembangkan cara mereka berpikir dan membiarkan mereka merasa puas dengan realisasi idenya. Mahasiswa leluasa dalam memilih dan mengonstruksi temuannya. Sayangnya, ketika dihadapkan pada ujian (dengan kata lain menghadapi penguji), mereka gagal. Dengan kondisi ini, tentu saja saya tidak bisa bilang, “Tuh kan, apa kata saya?!”.
Di situasi yang berbeda, mahasiswa yang dibimbing dengan gaya pembimbing yang mengarahkan, menetukan gagasan, menunjukkan langkah yang harus dan yang jangan, kebanyakan mereka lebih berhasil. Namun pendekatan seperti ini sering diharapkan oleh mahasiswa, karena yang menjadi tujuan adalah hasil akhir, lulus dengan nilai yang baik.
Menjadi berkarakter dalam mendidik itu tidak mudah. Bahkan lebih sering karakter itu diartikan sebagai kekeh dalam mendisiplinkan murid dengan aturan dan berbagai keharusan. Boleh lah jika gaya yang mengarahkan itu sebagai berkarakter (setidaknya oleh orang yang bersangkutan). Namun kita tidak boleh lupa, bahwa tujuan akhir dari pendidikan adalah membuat murid kita berkarater, mengembangkan cara berpikir, berpendirian, dan memiliki determinasi diri yang kuat.
Baca juga:
- Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?
- Apa yang Melemahkan Determinasi Diri dalam Membuat Keputusan?
Salah satu pembangun determinasi diri adalah otonomi atau keleluasaan bagi murid untuk mengembangkan ide dan pemikirannya. Membangun otonomi adalah sebuah langkah yang memang beresiko ketika dihadapkan pada kurikulum yang serba dibatasi oleh target yang ditentukan secara top-down. Target nilai, kelulusan, bahkan sampai prestise atau nama baik pembimbing yang ditunjukkan dengan bagusnya karya ilmiah atua tugas akhir, menjadi orientasi akhirnya. Belum lagi pencapaian tersebut serba dibatasi waktu dan pengumpulan poin kredit, baik oleh murid atau lebih-lebih untuk gurunya. Karena itu, kita sering terjebak untuk memilih langkah mendikte daripada mendidik.
Memilih mendikte ini sering tidak disadari. Langkah ini ditempuh karena ukuran pengakuan yang instan. Misalnya saja kita membimbing seorang murid untuk melakukan tugas akhir. Maka yang menjadi tolok ukur keberhasilan pembimbing adalah murid lulus ujian dengan nilai yang baik. Hasil ini hanya bisa ditempuh dalam satu semester atau satu tahun ajaran. Namuna apa jadinya murid ini ketika lulus dan dihadapkan dengan berbagai fenomena atau problem kehidupan?
Para murid yang dididik dengan mendikte memang kebanyakan akan memperoleh kebanggaan dalam hal nilai dan kelulusan. Selanjutnya nilai tersebut bisa digunakan untuk masuk ke jenjang pendidikan lanjutan atau mendapatkan pekerjaan. Akses itu memang bisa membuat murid (atau juga gurunya) bangga.
Namun sebenarnya keberhasilan mendidik adalah ketika murid siap menjalani kehidupan, bisa berkarya dan bahagia di dalamnya. Hanya saja, keberhasilan murid di periode kehidupan berikutnya ini sering tidak dianggap sebagai keberhasilan gurunya juga. Sang guru juga sering merasa bahwa hal itu tidak berpengaruh bagi pengakuan akan kehebatannya. Ketika murid berhasil di luar sana (bukan di sekolah), maka guru merasa tidak mendapatkan tanda jasa.
Jika menjadi guru masih memikirkan haisl yang instan dan berorientasi pengakuan, maka berhentilah menjadi pendidik dan beralihlah menjadi pendikte.