Mengembalikan Keseleo Pendidikan
June 9, 2014 . by rudicahyo . in Pendidikan . 0 Comments
Kita dididik dengan cara ‘seperti ini’ selama bertahun-tahun. Maksunya ‘seperti ini’? Iya, pendidikan yang tekstual dan menjaga jarak dengan konteks kehidupan. Kita punya pekerjaan rumah untuk mengembaikan keseleo pendidikan ini.
Sebelumnya aku telah menulis tiga artikel yang mempunyai karakteristik atau misi yang sama, yaitu “Apakah Pendidikan Kita Sudah Kontekstual?”, “Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?”, dan “Pendidikan Kita Menciptakan Jarak dengan Kehidupan”. Ketiganya berbicara tentang pendidikan yang tekstual dan di sisi lain, kehidupan itu adalah konteks yang membutuhkan aksi nyata. Baca sendiri saja deh, tiga artikel tersebut di sini.
Kalau kita pikirkan kembali, sepertinya ruang kelas dan sekolah benar-benar terpisah dari rumah dan kehidupan. Kita menghadapi kompleksitas persoalan dan kenyataan, namun tak satupun teori yang kita dapat di sekolahan dapat kita terapkan. Bangka sekolah/kuliah hanya cara kita menghimpun teks untuk kita baca dan diuji kembali di akhir semester atau akhir tahun. Bahkan kita punya ujian yang sudah tersistem, yaitu unas alias UN.
Tidak tahukah bahwa model ujian seperti itu telah mengerdilkan cara berpikir. Keberhasilan bertahun-tahun di bangku pendidikan (baca: sekolah) diakhiri dengan ujian dan nilai yang tak lebih dari angka-angka. Apakah semakin tinggi nilai ujian akan menjamin keberhasilan di kehidupan? Silahkan dipikirkan deh..
Keinginan untuk mendapatkan nilai tinggi sebagai tolok ukur keberhasilan bertahun-tehun sekolah telah menjadi aroma untuk disambut sebagai peluang bisnis. Menjamurlah bimbingan belajar dan jasa les privat. Sebagian besar mengajarkan trik dalam menghadapi dan menjawab soal ujian. Hidup direduksi hanya pada selembar kertas ujian.
Apa yang disebut sebagai honeymoon effect (meminjam istilahnya Boyatzis) benar-benar terjadi di sistem pendidikan kita. Beberapa waktu yang lalu aku pernah memberikan kuliah untuk bidang peminatan psikologi pendidikan. Aku memberikan kuliah tentang “Hierarchy Questions dalam Fasilitasi Belajar”. Hierarchy of Questions adalah struktur pertanyaan yang akan membantu kita dalam mencari tahu, membantu kita dalam belajar.
Beberapa bulan kemudian, ada yang konsultasi kepadaku tentang praktek kerja lapangan yang sedang ia lakukan. Orang ini sedang mengatasi kasus tentang proses pembelajaran di sekolah. Ada banyak kesalahan dalam mengumpulkan informasi dan membantu murid dan pihak sekolah dalam menyelesaikan persoalan belajarnya. Sayangnya, setelah aku cari tahu, ternyata orang ini adalah salah satu peserta kuliah tentang Hierarchy of Questions. Aku langsung terpukul. Aku bertanya pada diri sendiri, adakah kesalahan dalam caraku mengajar dulu?
Aku berusaha mengingatkan kembali orang ini pada kuliah itu. Ternyata tidak butuh usaha keras sedikitpun, ia langsung mengingatnya. Bahkan dia ingat secara detil apa isi kuliah yang aku berikan. Apa artinya? Ya memang perkuliahan (termasuk sekolah) tak saling nyambung dengan kehidupan.
Kita tidak hanya sedang mengubah perilaku belajar, tetapi juga default system dari cara berpikir. Para siswa atau mahasiswa terbiasa berpikir secara teks. Cara berpikir seperti ini adalah bentuk keseleo pendidikan yang sudah terjadi berpuluh-puluh (bahkan beratus-ratus tahun). Kita punya cara berpikir yang menjaga jarak dengan kehidupan nyata. Seperti di tulisan “Pendidikan Kita Menciptakan Jarak dengan Kehidupan”, kita membutuhkan reality testing atas pendidikan kita, bukan hanya paper and pencil testing.
Kita perlu menyadari dan segera membuat perubahan di dunia pendidikan. Apa aksimu? Silahkan di-share di sini!
Artikel tentang Pendidikan Lainnya:
- Pembubaran RSBI Wujud Kemerdekaan Pendidikan
- Bagaimana Memberikan Pendidikan Seks yang Sesuai untuk Anak?
- Tiga Cara Meningkatkan Motivasi dari Dalam Diri
- Kenapa Anak Lebih Suka Membaca atau Mengoperasikan Angka?
- Seperti Apakah Perubahan Diri Kita setelah Belajar?
- Ingin Belajar Efektif? Jangan Menggunakan Cara Kerja Foto Kopi!
- Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?
- Makna Belajar, Mana yang Lebih Utama, Kualitas atau Jumlah?
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- Ujian Nasional (Unas), Harga Mahal Sebuah Kejujuran
- Daily Parenting, Rugi Jika Tak Memiliki Buku Ini
- Jati Diri Anak Terkubur oleh Determinasi Orang Dewasa
- Sebagai Guru, Sudahkah Kita Berdiri Di Atas Sepatu Siswa?
- Pay It Forward: Dengan Inspirasi, Guru Membuat Perubahan
- Kenali Pengujimu, Persiapkan Ujian Skripsimu!
- Pengembangan Diri yang Paling Murni
- Bagaimana Memelihara Imajinasi Anak Tetap Menyala?
- Apakah Pendidikan Kita Sudah Kontekstual?
- Perlukah Anak Melakukan Les Privat Selain Belajar di Sekolah?
- Apa Catatan yang Harus Diperhatikan Jika Guru Menghukum Murid?
- Pelajaran Berharga dari Film Soekarno
- Apakah Membacakan Buku Sejak Dalam Kandungan Akan Membuat Anak Gemar Membaca?
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- Pendidikan Kita Menciptakan Jarak dengan Kehidupan?
- Matematika, Persoalan Epistemologi atau Etika?
- Menjadi Guru adalah Jalan Pedang
- Berhala Sistemik Dunia Pendidikan
- PENDIDIKAN Kita Melestarikan Budaya Verifikasi Benar dan Salah?
- 6 Prinsip Penyelarasan Tugas untuk Menjaga Motivasi di Masa Transisi
- Apakah Kamu Mendidik atau Mendikte?
- Bukan Stratifikasi, tapi Diferensiasi Pendidikan
- Pola Perilaku Baru dalam Belajar Sebagai Dampak Teknologi Informasi
- Pendidikan Karakter dan Kebahagiaan Murid
- Film Rekomendasi untuk Hari Guru
- Pendidikan dan Sikap terhadap Tantangan Kerja
- Profesi Guru, Antara Idealisme dan Industri Pendidikan
- Tantangan dalam Membudayakan Membaca Pada Anak
- Bagaimana Membangun Budaya Membaca pada Anak?
- 5 Alasan Fundamental Kenapa Membudayakan Membaca pada Anak Sangat Penting?
- Belajar Hafalan, Membentuk Generasi 'Foto Kopi'
- Pemimpin itu Pendidik
- Menghilangkan Keunikan Anak dengan Diksi 'Lebih Unik'
- Anak Anda Mogok Sekolah? Mari Kita Coba Mengatasinya!
- Pro Kontra Penghapusan Status RSBI
- Cara Tepat Mengatur Penggunaan Gadget pada Anak
- Bolehkah Guru TK Mengajari Membaca?
- Bagaimana Prinsip Memilih PAUD untuk Anak?
- Kenapa Anak Kita Mogok Sekolah?
- Warisan Unas: Ketika Kejujuran Menyisakan Penyesalan
- Kompetisi Ego Mengaburkan Keselarasan Orangtua dan Anak
- Memilih Sekolah untuk Anak: Antara Kualitas, Gengsi, dan Kemampuan Keuangan
- Pendidikan Indonesia di Nomor S(ep)atu