Agar Nikmat Melimpah, Kita Membutuhkan Rasa Syukur yang Sesungguhnya
December 16, 2013 . by rudicahyo . in Inspirasi (Insert) . 0 Comments
Rasa syukur membuat kita bisa menikmati apa yang sedang kita miliki. Saat itu, kita sedang terbuka pada nikmat yang baru. Namun, agar nikmat melimpah, kita membutuhkan rasa syukur yang sesungguhnya. Seperti apa itu?
Hari ini kendaraanku berada di kampus. Karena itu, aku berangkat bersama seorang teman. Di tengah perjalanan, hujan turun rintik-rintik. Terjadilah obrolan yang menghangatkan dinginnya guyuran hujan.
Aku bercerita kepada temanku bahwa aku kadang sengaja tidak mengenakan jas hujan ketika mengendarai motor. Aku menikmati sensasi dingin dan basah yang menerpa ketika berkendara. Memang bukan hujan yang lebat, hanya rintik-rintik. Namun demikian, kebanyakan orang segera merapat ke tepi jalan dan buru-buru mengenakan jas hujan. Iya, setiap orang punya pilihan, masing-masing orang punya cara yang berbeda dalam menanggapi hujan.
Aku sengaja menikmati hujan, karena selama ini Surabaya dan Sidoarjo panasnya tak terkira. Dan demikianlah biasanya. Aku membiasakan diri untuk membuka banyak cara menanggapi karunia yang diberikan Tuhan. Karena dengan menikmati pemberian, kita seperti sedang menghentikan waktu dan berlama-lama dengan rasa nikmat itu.
Lalu bagaimana dengan panas? Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, berbicara hujan tak akan luput dari membicarakan lawannya, panas. Surabaya dan Sidoarjo memang terkenal sebagai kota yang panas. Bagaimana aku menanggapi panas.
Biasanya kalau berangkat kerja, aku mengenakan jaket dan sarung tangan, untuk meredam sengatan panas. Namun yang namanya panas, dibungkus bagaimanapun tetap kepanasan. Badan yang dibungkus jaket dan sarung tangan pastilah merasa gerah di bawah terik yang menyala-nyala.
Suatu ketika, saat lampu merah menghentikan perjalananku, aku coba tak menahan panas yang menyengat. Aku biarkan panas itu masuk ke tubuh. Aku rasakan aliran dan setiap sentuhannya di pori-pori dan di jaringan epitel bawah kulit. Panas itu menyentuh dengan lembut dan aku merasakan bahwa dia sebenarnya ramah. Bahkan saking detilnya aku merasakan panas di setiap bagian tubuh, sampai aku menggigil. Aku tidak merasakan panas lagi, tapi hangat. Malah saat menggigil, aku merasakan sensasi yang sama ketika kedinginan. Kulitku juga merinding. Entah kenapa, ini seperti paradoks. Aku juga merasakan sensasi yang sama ketika membiarkan hujan mengguyur tubuh.
Meskipun demikian, ada satu yang tak aku ingkari, yaitu polusi. Ketika hujan, meskipun aku berlindung di balik jas hujan, aku tetap bisa santai berkendara sambil menikmati guyurannya. Namun aku tidak suka ketika macet dan banyak asap mengepul, menelusup masuk hidung dan memenuhi rongga paru-paru. Untuk satu hal ini aku tidak bisa menikmati. Lalu bagaimana?
Aku bilang kepada temanku, aku tak perlu mengingkari kalau aku tidak suka asap kendaraan. Aku cukup menyatakan tidak suka kepada asap itu. Selebihnya, aku lanjutkan perjalanan dengan apapun keadaannya. Aku tak perlu bermusuhan dengan asapnya, karena bagaimanapun juga, dia tetap ada di sekelilingku, setiap hari, setiap perjalanan. Aku cukup tidak suka, tak perlu membenci. Begitulah caraku mensyukuri apa yang sedang terjadi.
Rasa syukur tak cukup hanya dengan perkataan, tapi perlu diikuti dengan keyakinan dan reaksi tubuh yang selaras. Ketika rasa syukur hanya ada dalam ucapan, sebenarnya saat itu diri kita sedang tidak ikhlas dengan rasa terimakasih yang kita nyatakan. Meskipun sudah mengucapkan, jika keyakinan dan tubuh tak sejalan, maka nikmat itu tak bisa dirasakan.
Artikel tentang Inspirasi (Insert) Lainnya:
- Bagaimana Menjadi Produktif? Begini Prinsipnya
- Jadilah Optimis seperti Anak-Anak
- Riya' Meter, Sebuah Alat Penakar untuk Menyelamatkan Diri dari Pamer
- Mengubah Keburukan Menjadi Kebaikan adalah Menciptakan Resonansi
- Menciptakan Atmosfir yang Berenergi
- Ketika Tidak Dipercaya, Bagaimana Cara Menciptakan Perubahan?
- Dumbo Disney, Ketidaksempurnaan yang Luar Biasa
- Menyiasati Ruang dan Waktu untuk Produktivitas
- 3 Hal yang Menguatkan Nafsu dan Menumpulkan Akal
- Menghancurkan Tembok Penghalang dengan Tune In pada Aktivitas Pertama
- Keluhan Dapat Menurunkan Kekebalan
- Dua Golongan Orang yang Mampu Menaklukkan Kehidupan
- Menyikapi Hidup seperti Anak-anak
- Perbuatan Baik Dapat Kembali Memurnikan Hati
- Krisis Jati Diri, Pangkal dari Semua Krisis
- Dalam Penciptaan, Imajinasi Bukan Basa-Basi
- Reaksi Spontan Atas Ketidaknyamanan Dapat Membentuk Pribadi Kita
- Penularan Kebaikan dan Keburukan untuk Diri Sendiri
- Inspirasi dan Menjadi Diri Sendiri
- Sholat Tarawih, Perjuangan Membentuk Karakter
- Niat Baik Meningkatkan Nilai Perkataan dan Perbuatan
- Belajar dari Moana, Berani Melampaui Ketidakpastian
- Bahaya Tagar Indonesia Terserah
- Cerita: Harta Karun Mr. Crack
- Menyatunya Hablum Minallah dan Hablum Minannas
- Wreck It Ralph: Apakah Ilmu Pengasuhan Itu Omong Kosong?
- Menjadi Bahagia dengan Membunuh Waktu. Bagaimana Caranya?
- Pergantian Tahun bukan Pergantian Tuhan
- Perbedaan antara Kebenaran dan Pembenaran
- Sayangnya, Kehidupan Nyata Itu....
- Cerita: Kaus Kaki Bolong
- Hidayah Tak Datang dengan Mudah
- Bagaimana #senja Bisa Menjadi Sumber Kebahagiaan?
- Proses Pembentukan Pribadi Pengeluh
- Menjadi yang BAIK, Tanpa Syarat
- Berkubang dengan Masalah atau Membudayakan Solusi?
- Manusia Dikendalikan Sistem Ciptaannya?
- 6 Pelajaran Kompleksitas Emosi dari Film Inside Out
- Tak Ada yang Sulit Jika Ada Kemauan Belajar
- Neng Neng Nong Nang Neng Nong dari Mata Apresiatif Seorang Akhmad Dhani
- Pemilu Usai, Saatnya Berbuat untuk Negeri Ini
- Hijrah Membutuhkan Konsistensi
- Kinerja Optimal dengan Menyiasati Aspek Kecepatan dan Ketelitian Kerja
- Cerita: Menolong Nubi
- 3K, Bahan Bakar untuk Lokomotif Kehidupan Kita
- Fokus Kekuatan Diri Dibentuk oleh Niat
- Now and Here, Cita-Cita Tak Sampai
- Bergerak dari Zona Masalah ke Zona Solusi
- Ingin Memiliki Daya Saing? Jadilah Diri yang Original
- Senang dan Sedih juga Dipelajari
- Corona, Perpecahan Keyakinan yang Melelahkan dan Melemahkan
- Fokus kepada Kebahagiaan, Kunci Keberhasilan
- Melalui Cobaan, Kita Lebih Mudah Mengenali Diri Sendiri
- Persepsi Tanpa Komunikasi Bisa Menjadi Prasangka