Psychology | Learning | Parenting | Writing | Education

 

Mengubah Keburukan Menjadi Kebaikan adalah Menciptakan Resonansi

June 19, 2014 . by . in Inspirasi (Insert) . 0 Comments

Seperti resonansi dalam fisika, berbuat baik juga menularkan getaran dari seseorang kepada yang lain. Dalam mengubah keburukan menjadi kebaikan, kita seperti sedang menciptakan getaran pertama.

Menciptakan kebaikan adalah membuat resonansi. Risma telah memulai getaran yang pertama (foto: tempo.co)

Menciptakan kebaikan adalah membuat resonansi. Risma telah memulai getaran yang pertama (foto: tempo.co)

Berbuat baik itu sebenarnya mudah. Kita seperti sedang menabuh, meniup, menggesek, atau memetik sebuah alat musik. Namun ketika lingkungan sudah berisik, maka menciptakan harmoni pada ketukan pertama adalah tantangan yang berat luar biasa. Sebuah resonansi baru akan berhadapan dengan resonansi lama yang sudah familiar. Inilah kejadiannya saat kebaikan pertama diciptakan.

Resonansi sendiri dapat diartikan proses bergetarnya suatu benda dikarenakan ada benda lain yang bergetar. Ini terjadi karena sebuah benda bergetar pada frekuensi yang sama (atau kelipatan bilangan bulat dari frekuensi tersebut) dengan benda yang dipengaruhi. Resonansi bunyi menyebabkan suara bertambah nyaring. Karena itulah alat musik dibuat dengan memanfaatkan prinsip ini, yaitu dengan membuat kolom udara dalam alat musik tersebut. Apa hubungannya dengan menciptakan kebaikan?

Berbuat baik untuk mengubah keburukan, atau berbuat baik di lingkungan yang buruk, seperti membuat resonansi bunyi nada di tengah berisik desah dan dentuman yang akrab di telinga. Jika sebuah lingkungan telah akrab atau familiar dengan keburukan, maka kebaikan pertama akan mendapatkan tantangan. Contoh saja penutupan kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara yang bernama Dolly. Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, mendapatkan tantangan dari warga yang berusaha mempertahankan sesuatu yang sudah familiar dalam kehidupan mereka.

Ini bukan berarti menghakimi penentang Risma sebagai pembuat atau penebar keburukan. Namun bisa dibilang, mereka berusaha mempertahankan apa yang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka, terlepas sadar atau tidak sadar bahwa hal tersebut adalah keburukan. Ketika isu penutupan Dolly sudah mulai muncul, warga yang menentang, mulai merasa resah. Ini wajar, karena perubahan pasti mendatangkan ketidaknyamanan, baik perubahan ke arah kebaikan maupun keburukan.

Ada banyak rasionalisasi dan berbagai macam defends yang menjadi ikutan dari kebijakan penutupan Dolly. Ada yang takut wilayahnya menjadi persebaran mantan pekerja seks Dolly, ada yang takut kehilangan mata pencaharian sebagai penjual makanan di sekitar Dolly, ada yang bangkrut karena pensiun dari mucikari, dan sebagainya. Begitulah yang terjadi saat kebaikan diciptakan untuk pertama kali.

Namun Risma menyatkaan, butuh komitmen bersama tangani lokalisasi (tempo.co). Artinya, kebaikan itu bisa mengikuti prinsip atau hukum resonansi. Untungnya Risma bersikekeh dengan sikapnya untuk menutup Dolly. Jika sedari awal dia goyah karena ada banyak defeds yang berbuntut kepada penyerangan dirinya, maka kebaikan sama sekali tak akan tercipta. Penciptaan kebaikan pertama telah dilakukan oleh Risma. Selanjutnya, resonansi bisa terjadi jika orang-orang di sekitarnya punya frekuensi yang sama.

Dulu aku pernah menulis artikel “Fokus Kekuatan Diri Dibentuk oleh Niat” atau “Niat Baik Meningkatkan Nilai Perkataan dan Perbuatan”. Artikel tersebut berhubungan dengan pembahasan tentang pembentukan perilaku pertama, termasuk di dalamnya adalah perilaku baik. Setelah menciptakan, perjuangan selanjutnya adalah pada mempertahankan. Inilah yang disebut dengan hijrah, karena hijrah membutuhkan konsistensi.

Bu Risma telah memimpin sebuah perjalanan besar yang disebut dengan hijrah. Totalitas Bu Risme untuk menciptakan kebaikan seharusnya didukung oleh semua warga yang sadar bahwa membuat kebaikan buat semesta itu penting. Menjaga konsistensinya tidak hanya menjadi beban yang terletak di pundah Bu Risma, tetapi menjadi tanggung jawab seluruh warga. Bu Risma hanya wali kota yang berusaha menjalankan fungsinya sebagai khalifah. Sebuah kepemimpinan ada era-nya. Jika sebuah era telah berakhir, maka tongkat estafet diserahkan kepada pemimpin selanjutnya. Pertanyaannya, apakah pemimpin selanjutnya mampu menjaga konsistensi kebaikan yang diciptakan oleh Bu Risma?

Menciptakan dan menyebarkan kebaikan itu seperti resonansi bunyi (foto: kfk.kompas.com)

Menciptakan dan menyebarkan kebaikan itu seperti resonansi bunyi (foto: kfk.kompas.com)

Menjaga konsistensi adalah tentang menciptakan resonansi. Resonansi kebaikan akan lebih masif dan mudah jika diupayakan oleh seluruh warga, barangkali saja tidak hanya warga Surabaya, tetapi juga Jawa Timur, mapun Indonesia.

Seperti pada resonansi bunyi, sebuah benda akan menggetarkan benda lain dengan frekuensi yang sama. Pertanyaannya, apakah kita sebagai warga (negara) memiliki frekuensi yang sama dengan Bu Risma?

0.00 avg. rating (0% score) - 0 votes
Tags: , ,

Artikel tentang Inspirasi (Insert) Lainnya:

by

Creative Learning Designer | Parenting Consultant | Writing Coach


 

Post a Comment

Your email is never published nor shared. Required fields are marked *

*
*

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>