Senang dan Sedih juga Dipelajari
June 24, 2014 . by rudicahyo . in Inspirasi (Insert), Parenting, Psikologi Populer . 0 Comments
Manusia adalah mahluk yang tak pernah berhenti belajar. Setiap bagian dari diri kita selalu belajar. Tubuh, kepala dan hati kita juga belajar. Karena itu, senang dan sedih juga dipelajari.
Apa yang Kamu rasakan saat bangun pagi? Apa yang spontan Kamu katakan saat kejadian luar biasa menimpa? Itu semua adalah kebiasaan yang kita pelajari, baik disadari atau tidak disadari.
Kebanyakan orang mengira bahwa belajar itu urusan kepala. Kita membaca, diskusi, sekolah atau kuliah, adalah aktivitas belajar. Sementara aktivitas lainnya dianggap sebagai belajar tambahan, atau orang bilang mempunyai efek belajar. Sir Ken Robinson menggambarkan dengan anekdot yang usil. Dia mengatakan bahwa tubuh para profesor (sesungguhnya kita semua) adalah kendaraan untuk membawa kepala mereka ke pertemuan-pertemuan. Artinya, semakin kita dewasa, diri kita semakin menyusut ke kepala. Kita semakin mengabaikan keberadaan hati dan tubuh.
Setiap aktivitas kita, baik yang dilakukan oleh tubuh, kepala dan hati, selalu meninggalkan jejak belajar. Jejak itu semakin lama akan semakin menciptakan kebiasaan. Misalnya saja guru atau dosen yang sering mengajar. Di sekolah atau kampusnya mungkin tidak hanya terdiri dari satu kelas untuk satu mata pelajaran atau mata kuliah. Untuk itu, dalam satu minggu, ia dapat mengajar materi yang sama di kelas-kelas tersebut. Pengalaman itu diulang-ulang, sehingga menguatkan kelekatannya pada diri yang mengalami. Karena itulah guru atau dosen itu semakin menguasai mata pelajaran atau mata kuliah tersebut. Ini yang membentuk ingatan, baik yang disadari atau yang tidak (voluntary memory).
Kalau kita tengok definisi dari ingatan saja, secara sederhana dapat diartikan penyimpanan, pengodean dan penempatan, serta pemanggilan kembali informasi. Jadi, jika disebut sebagai kemampuan mengingat atau daya ingat, maka orang dengan ingatan yang kuat memiliki kemampuan tersebut dengan baik. Tidak terkecuali jejak-jejak emosi yang kita alami.
Pengalaman kita tidak hanya melibatkan tubuh dan pikiran, tetapi juga hati. Karena itulah dalam diri kita juga ada jejak emosi. Kita yang sering mengalami kesedihan, maka akan membentuk pribadi yang penyedih alias galau. Begitu juga dengan yang sering berbahagia, maka akan menjadi pribadi yang bahagia.
Namun kebahagiaan dan kesedihan juga sebagai bagian dari belajar. Lho kok bisa senang dan galau dipelajari? Ketika kita terbiasa pada salah satu perasaan tersebut, maka kita akan cenderung merasakan itu, apapun situasinya. Yang biasa galau, maka ketika mendengarkan lelucon, akan banyak pertimbangan sebelum akhirnya memutuskan untuk tertawa. Karena itulah ada orang yang merasa kesepian dalam keramaian, misalnya dalam pesta yang meriah. Begitu juga yang terbiasa bahagia, maka ketika suasananya mengharu biru, dengan cepat bisa melihat sisi lucu, senang dan lebih optimis. Ini semua pilihan. Kamu pilih yang mana?
Karena itulah, jika sekarang kecenderungan kita melihat dari sisi gelap (sedih)nya, maka berarti kita punya default system yang sedih. Kita lebih baik belajar untuk membiasakan merasa bahagia. Jika ada waktu, lakukan kegiatan yang menyegarkan (refreshing), ngobrol dan bersenda gurau, menikmati senja, melihat tontonan komedi, bermain dengan anak-anak dan sebagainya. Itu adalah cara kita untuk menciptakan jejak-jejak kebahagiaan, dan pada akhirnya akan menjadi diri kita.
Contoh di paragraf sebelumnya menyebutkan ‘bermain dengan anak-anak’. Kenapa anak-anak? Mereka adalah figur yang bahagia. Artinya, anak-anak diciptakan dalam kondisi yang positif, dalam hal ini bahagia. Berarti kita dulu terlahir bahagia ya? Iya dong. Sayang kan kalau kita jadi pribadi yang mellow?
Berbicara tentang anak-anak, bagaiamana tentang belajar senang dan sedih ini? Anak-anak yang bahagia juga bisa belajar sedih. Kesedihan itu bagian dari diri. Jadi sedih itu memang kodrat alamiah. Jadi sedih tetap saja penting. Tapi jika kesedihan jadi template-nya, maka sangat disayangkan kalau anak-anak berubah menjadi penyedih.
Karena itu, kita sebagai orangtua atau pendamping anak, juga punya peran mendukung anak untuk belajar merasakan. Jika orang di sekitar anak adalah orang-orang yang galau, maka anak akan belajar menjadi galau. Begitu juga orangtua atau keluarga yang sering melibatkan anak dalam kesedihan, misalnya memarahinya, melarang, bahkan membullynya, maka kita sedang menciptakan generasi yang penyedih.
Karena senang dan sedih dapat dipelajari, coba lihat kembali diri kita, apakah kita cenderung bahagia atau justru adalah pribadi yang penyedih?
Artikel tentang Inspirasi (Insert), Parenting, Psikologi Populer Lainnya:
- Bagaimana Mengelola Orang yang Bermasalah dengan Kita?
- 5 Cara Menciptakan Atmosfir yang Berenergi
- Bahaya Tagar Indonesia Terserah
- Apa yang Tidak Boleh Dilakukan Saat Anak Marah?
- Reaksi Spontan Atas Ketidaknyamanan Dapat Membentuk Pribadi Kita
- Membanggakan Anak Secara Berlebihan Itu Berbahaya
- Political Framing: Ketika Kalimat "Apa susahnya membawa anak Palestina ke sini?" Menjadi Populer
- Teori Belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike
- 6 Pelajaran Kompleksitas Emosi dari Film Inside Out
- Menghilangkan Keunikan Anak dengan Diksi 'Lebih Unik'
- Apakah Sigmund Freud Sex Oriented?
- Struktur Kepribadian Menurut Sigmund Freud
- 5 Kondisi Lingkungan Kerja yang Berdampak pada Pemberdayaan Diri
- Tiga Cara Meningkatkan Motivasi dari Dalam Diri
- Belajar Prinsip Hidup dari Film The Fan
- 3 Hal yang Menguatkan Nafsu dan Menumpulkan Akal
- Belajar Bilingual Sejak Dini
- Stimulasi untuk Optimalisasi Belajar Anak
- Kinerja Optimal dengan Menyiasati Aspek Kecepatan dan Ketelitian Kerja
- Bagaimana Memberikan Pendidikan Seks yang Sesuai untuk Anak?
- Fokus Kekuatan Diri Dibentuk oleh Niat
- Mengapa Kata JANGAN Boleh Digunakan?
- Mengajari Anak Menghadapi Kondisi Sulit yang Menimpanya
- Kekuatan Pikiran Kita Dapat Membentuk Orang Lain
- Bagaimana Menyikapi Penggunaan Gadget oleh Anak?
- Zone of Proximal Development dan Scaffolding pada Teori Belajar Vygotsky
- Menjadi Bahagia dengan Membunuh Waktu. Bagaimana Caranya?
- Apa Perbedaan Berpikir Analitis dan Berpikir Kreatif?
- Reaksi yang Harus Dihindari Orangtua Saat Anak Mengalami Bullying
- 5 Jurus Lepas dari Stagnasi
- Hati-Hati, Persepsi Negatif Bisa Menguasaimu!
- Pekerjaan atau Anak?
- Untuk Masa Depan Anak, Berkorbanlah!
- Benarkah Televisi Menyebabkan Keterlambatan Berbicara?
- Mengasuh Anak itu Membaca Pola
- Melalui Cobaan, Kita Lebih Mudah Mengenali Diri Sendiri
- Memahami Alat Permainan Anak dan Pola Pikir Anak
- 5 Situasi yang Memudahkan Mengenali Diri Sendiri
- Menyatunya Hablum Minallah dan Hablum Minannas
- Dari Galau Hingga Oportunistik, Diawali dari Problem Pengasuhan
- Bagaimana Bertanggung Jawab atas Keseriusan Anak?
- Corona, Perpecahan Keyakinan yang Melelahkan dan Melemahkan
- Bahasa Positif Menciptakan Perubahan Positif pada Perilaku Anak
- Menciptakan Atmosfir yang Berenergi
- Semua Orangtua Punya Anak Kreatif
- Apakah Kita Benar-Benar Memiliki 'Me Time'?
- Manfaat Apresiasi untuk Anak
- Kesulitan Orangtua Mengajak Anak Kembali ke Sekolah Pasca Libur
- 5 Langkah Detoksifikasi Kecanduan Pornografi
- Now and Here, Cita-Cita Tak Sampai
- Bagaimana Orangtua yang Bekerja Menjaga Perkembangan Emosi Anak Tetap Sehat?
- 5 Alasan Fundamental Kenapa Membudayakan Membaca pada Anak Sangat Penting?
- Ketika Suami Bilang, "Lebih Cantik Istriku", Percaya?
- Ketika Tidak Dipercaya, Bagaimana Cara Menciptakan Perubahan?
- Hilangnya 3 Hal yang Menjauhkan Diri dari Kebahagiaan
- Bagaimana Anak Belajar Memiliki Kelekatan yang Sehat?
- Teori Perkembangan Moral Kohlberg
- Bagaimana Menjadi Orangtua yang Mengelola Larangan dan Perintah?
- Kamu Menyebutnya Kesadaran
- WAJIB TERUS DITUMBUHKAN Kesadaran Parenting sebagai Bentuk Pendidikan Pertama
- Pengembangan Bakat Anak dan Dilema Pilihan
- Faktor Penguat Tingkat Kepercayaan Orang kepada Kita
- 5 Faktor Penghambat Psikologis dalam Memulai Bisnis
- Belajar Pembentukan Perilaku dengan Observational Learning Bandura
- 3K, Bahan Bakar untuk Lokomotif Kehidupan Kita
- Mempertanyakan Kekuasaan Tuhan
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- Tabula Rasa, Apakah Anak-Anak Sehelai Kertas Putih?
- Memahami AKU sebagai Pondasi Menjalani Hidup
- Anak Anda Mogok Sekolah? Mari Kita Coba Mengatasinya!
- Hiper Realitas Media Sosial, Bagaimana Nasib Generasi Muda?
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- Cerita: Kaus Kaki Bolong
- Penarikan Simpulan yang Sesat atas Diagnosis Psikologi
- Dalam Penciptaan, Imajinasi Bukan Basa-Basi
- Persepsi Tanpa Komunikasi Bisa Menjadi Prasangka
- Apa Dampak Ketidakkompakan Orangtua Bagi Anak?
- Peran Imajinasi di Tiga Area Penciptaan
- Memetakan Sumber Penghasilan dengan Inventarisasi Kekuatan
- Harmonisasi Pola Alamiah Diri dengan Pekerjaan
- Jenis Kelekatan yang Terjadi pada Anak
- Dampak Reaksi Kekhawatiran yang Berlebihan terhadap Anak
- Kenapa Kita Tidak Boleh Memotong Aktivitas Anak?
- Fixed Mindset dan Growth Mindset, yang Manakah Dirimu?
- Niat Baik Meningkatkan Nilai Perkataan dan Perbuatan
- Bahaya Mendikte Anak bagi Keberanian dan Kreativitas
- Bagaimana Menjadi Produktif? Begini Prinsipnya
- Apa Dampaknya Jika Salah Memberikan Bantuan untuk Anak?
- Bagaimana Pola Ketergantungan Terbentuk?
- Bagaimana Menggunakan Kata JANGAN untuk Anak?
- Menjadi Orangtua Itu Sangat Intuitif. Percaya Sama Ahli Parenting?
- Bahaya Film Action yang Harus Diwaspadai Orangtua
- 7 Efek Tertawa dari Hati
- Pemilu Usai, Saatnya Berbuat untuk Negeri Ini
- Kompetisi Ego Mengaburkan Keselarasan Orangtua dan Anak
- Selalu Ada Cara untuk Menghubungkan Anak dan Orangtua
- Perbedaan antara Kebenaran dan Pembenaran
- Personal Well Being, Apa dan Bagaimana?
- Perkembangan Moral Kohlberg
- Bahaya Ancaman Bagi Anak