Pekerjaan atau Anak?
December 19, 2012 . by rudicahyo . in Psikologi Populer . 0 Comments
Anak atau pekerjaan?, pertanyaan lumrah buat orangtua yang bekerja. Ketika ‘bekerja’ sudah diagungkan, maka yang tak melakukannya dianggap aneh. Para orangtua yang meninggalkan anaknya jadi hal lumrah. Mereka yang meninggalkan pekerjaan demi anak, dianggap di luar kebiasaan. Saking agungnya, meninggalkan pekerjaan dapat membuat orang merasa ‘murtad’.
Hari ini berangkat kerja dibarengi mahasiswa. Ceritanya dia nebeng, sengaja meninggalkan kereta dan lebih memilih berangkat bersama dosennya hehe. Nah, pada waktu berboncengan itulah, aku dan dia terlibat obrolan seru, tentang berhentinya seseorang dari pekerjaannya atau resign.
Aku cerita tentang temanku yang 8 tahun lamanya tinggal di New York. Ia terlanjur berjanji, jika belum sukses, tidak akan pulang ke rumah. Selama tinggal di sana, sesekali dia resign dari tempat kerjanya. Hampir setiap tahun ia resign. Ketika hatinya sedang galau, merindu kampung halaman teramat dalam, ia meminta resign kepada perusahaan tempat ia bekerja. Setelah dirasa ingin kerja lagi, temanku ini bisa melamar lagi bekerja di perusahaannya tadi.
Kata temanku, perusahaan tidak membeli dirinya. Perusahaan hanya bisa membeli kompetensi dia. Karena perusahaan membeli kompetensinya, maka yang berhak memasang bandrol adalah pekerjanya. Perusahaan yang membutuhkan dia. Akibatnya, karyawan tidak pernah merasa dirinya seperti budak. Mereka punya nilai tawar. Pertanyaannya, bagaimana dengan di negara kita ini?
Membahas tentang resign, berarti juga membahas tentang pekerjaan. Membahas tentang pandangan orang terhadap pekerjaan, berarti juga berbicara tentang anggapan orang terhadap resign. Nah, bagian ini yang bisa kita lihat di negara kita ini.
Sebelum melanjutkan pembahasan ini, ada cerita lain yang berhubungan. Setelah berjibaku dengan kemacetan panjang bersama mahasiswa yang memboncengiku, sampailah aku di kampus, kelas Filsafat Pendidikan.
Hari ini itu pembahasannya tentang kearifan lokal. Presentasi dari salah satu mahasiswa sangat menarik. Salah satu bagian yang menarik adalah percobaan yang ia lakukan. Ia meminta teman-temannya mengeluarkan selembar kertas dan menyiapkan alat tulis. Perintahnya, “Gambarlah pemandangan”. Meskipun tidak semua, tapi sebagian mahasiswa menggambar seperti ini:
Kata teman mahasiswa ini, yang bekerja di Dinas Pendidikan, gambar pemandangan ini adalah warisan dari penjajah jaman dulu. Mereka sengaja mengajari pribumi untuk menggambar seperti ini, agar image negara indonesia sebagai negara maritim berganti dengan negara ageraris. Dengan demikian, pertahanan lautnya bisa menjadi lemah.
Pembahasan lainnya yang menarik adalah soal kebiasaan orangtua yang bekerja dan menyekolahkan anaknya. Logika industri juga diwariskan sejak jaman dulu, ketika kapitalisme mulai menguasai tidak hanya cara hidup kita, tetapi juga cara berpikir kita. Orangtua berproduksi di tempat kerja, sementara anak-anak mengonsumsi produk dari dunia industri yang diberi nama sekolah.
Orangtua lebih memilih punya status kerja dan tanpa sengaja mengaburkan status sebagai orangtua. Dialog beberapa teman ibunya Bintang di facebook juga menunjukkan hal ini. Orangtua tidak percaya kepada pembantu, tetapi juga tidak banyak meluangkan waktu untuk anaknya. Mereka memilih sekolah seharu penuh atau full day.
Teringat tweet-ku, “Mahalnya #pendidikan bukan soal biaya sekolah, tetapi soal keengganan orangtua mengambil peran untuk pendidikan anaknya”. Orangtua lebih suka membayar orang untuk mendidik anaknya. Dalam versi yang lebih lugas, orangtua membeli produk pendidikan buat anaknya, agar tidak menuntut kebersamaan dengan orangtuanya. Iya, orangtua memproduksi di tempat kerjanya, anak-anak mengonsumsi di sekolah.
Apa hubungannya dengan resign dari pekerjaan? Jika melamar pekerjaan jadi hal yang umum setelah kuliah, maka banyak orang yang menggantungkan dirinya kepada penyedia lapangan pekerjaan. Karena itulah, pemilik lapangan kerja jadi naik derajatnya. Pemilik lapangan kerja  merasa dirinya melambung, sementara pelamar seperti ‘mengemis’. Ada jarak martabat antar keduanya. Pemilik lapangan pekerjaan berkuasa, karyawan adalah yang dikuasai. Setidaknya begitulah yang terjadi di negara yang mewarisi tradisi tersebut.
Karena itu, jika ada orangtua yang lebih memilih meninggalkan pekerjaan demi anaknya, maka ia terlihat seperti orang yang akan mati konyol. Hal ini tidak akan terjadi di negara yang tidak mewarisi tradisi seperti ini. Memang jelas beda antara negara yang orientasinya menggunakan warisan dengan negara yang menciptakan sesuatu untuk diwariskan.
Setidaknya melalui kuliah ini, diharapkan para mahasiswa bisa mempersiapkan, akan bekerja seperti apakah kelak. Jika mereka peduli dengan masa depan anaknya nanti, maka jenis pekerjaannya harus dipikirkan.
Para mahasiswa bisa memilih tempat kerja yang memanusiakan karyawannya. Syukur-syukur jika pekerjaan tersebut dipersilahkan untuk dikerjakan di rumah, tidak harus selalu datang ke kantor. Tempat kerja memberikan hak bagi anak buahnya untuk menentukan kehidupannya sendiri, termasuk untuk resign. Jika anak buah resign, itu hal yang biasa, tidak ada prasangka, tanpa harus ada black list.
Begitulah kira-kira dampak dari pewarisan budaya ‘bekerja’ bagi diri, keluarga dan anak-anak. Apakah pekerjaanmu memanusiakan diri, keluarga dan anakmu? Demi masa depan anak, pekerjaan seperti apakah yang telah Kamu rencanakan?
Artikel tentang Psikologi Populer Lainnya:
- Menguasai Emosi Orang Lain melalui Disonansi Kognitif
- Terapi Psikologi: Menyembuhkan Gejala atau Penyebabnya?
- Tabula Rasa, Apakah Anak-Anak Sehelai Kertas Putih?
- Proses Pembentukan Pribadi Pengeluh
- Personal Well Being, Apa dan Bagaimana?
- Simplifikasi: Persiapan Menjadi Tester Handal untuk Psikotes
- 5 Cara Menciptakan Atmosfir yang Berenergi
- 5 Faktor Penghambat Psikologis dalam Memulai Bisnis
- Bagaimana Melakukan Eksekusi Ide yang Jumlahnya Banyak?
- Apa Sumber Makna dalam Hidup Kita, Isi atau Bungkus?
- 5 Jurus Lepas dari Stagnasi
- Hati-Hati dengan Pembentukan Karakter oleh Teroris
- Memetakan Sumber Penghasilan dengan Inventarisasi Kekuatan
- Tiga Pola Strategi Mewujudkan Disiplin Positif pada Anak
- Penting Diketahui Psikolog: Alur Asesmen dan Intervensi
- Peran Imajinasi di Tiga Area Penciptaan
- Efek Akun Pencitraan Buat Pemiliknya
- Dampak Individual dan Sosial dari Perfeksionisme
- Berkubang dengan Masalah atau Membudayakan Solusi?
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- Motif Mempengaruhi Loyalitas
- Bersujud adalah Obat Psikologis yang Ampuh
- Teori Perkembangan Moral Kohlberg
- Hiper Realitas Media Sosial, Bagaimana Nasib Generasi Muda?
- Benarkah Televisi Menyebabkan Keterlambatan Berbicara?
- Karakteristik Anak Berdasarkan Kesukaannya Membaca atau Mengoperasikan Angka
- Penarikan Simpulan yang Sesat atas Diagnosis Psikologi
- Harmonisasi Pola Alamiah Diri dengan Pekerjaan
- Daily Parenting, Rugi Jika Tak Memiliki Buku Ini
- Apakah Kita Benar-Benar Memiliki 'Me Time'?
- 5 Kondisi Lingkungan Kerja yang Berdampak pada Pemberdayaan Diri
- Perkembangan Psikoseksual Menurut Sigmund Freud
- Ingin Merasa Bahagia dengan Aktivitas Kita? Hilangkan Variabel Waktu!
- 6 Pelajaran Kompleksitas Emosi dari Film Inside Out
- Bagaimana Mengelola Orang yang Bermasalah dengan Kita?
- Mencegah Kecemasan Akibat Over Antisipasi
- Bagaimana Seseorang Dapat Larut dalam Pekerjaan?
- Belajar Pembentukan Perilaku dengan Observational Learning Bandura
- Air Mata sebagai Emotional Release
- Level Kerumitan Persoalan Psikologis
- Menjadi Bahagia dengan Membunuh Waktu. Bagaimana Caranya?
- Bagaimana Film Amazing Spiderman di Mata Psikologi?
- Pola Adaptasi dan Pembentukan Mental Kita
- Manfaat Berlibur untuk Kesehatan Psikologis
- Kronologi Proses Keluhan Mengebiri Solusi
- Abnormalitas adalah Normalitas yang Diingkari
- Perkembangan Moral Kohlberg
- Need Sebagai Motif dalam Hierarkhi Kebutuhan Maslow
- Dua Golongan Orang yang Mampu Menaklukkan Kehidupan
- Ketika Suami Bilang, "Lebih Cantik Istriku", Percaya?
- Ikigami (Death Notice), The Ultimate Limit, Eksistensi Diri Menjelang Kematian
- Senang dan Sedih juga Dipelajari
- Punya Banyak Waktu Luang? Hati-Hati dengan Bahaya Menganggur
- Perbedaan Hadiah dan Hukuman
- Selective Mutism, Jangan-jangan Anak Kita...
- Belajar Prinsip Hidup dari Film The Fan
- Kekerasan Seksual pada Anak di Mata Psikologi
- Teori Belajar Operant Conditioning Skinner
- Apa yang Melemahkan Determinasi Diri dalam Membuat Keputusan?
- Perbedaan antara Kebenaran dan Pembenaran
- Hilangnya 3 Hal yang Menjauhkan Diri dari Kebahagiaan
- Bentuk Tulisan untuk Meredakan Kegalauan
- Pentingnya Detoksifikasi Kecanduan Pornografi
- Sayangnya, Kehidupan Nyata Itu....
- Teori Belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike
- Teori Motivasi dari Abraham Maslow
- KKN di Desa Penari, Antara Fakta dan Fiksi
- Apa Dampak Berasumsi Negatif bagi Kesehatan Jiwa Kita?
- Optimalisasi Internet Mengubah Struktur Ruang dan Waktu
- Kesehatan Mental Di Tempat Kerja
- 7 Efek Tertawa dari Hati
- 3 Cara Memfokuskan Kekuatan Diri
- Bagaimana Psikologi Menganalisa Mimpi?
- Memahami AKU sebagai Pondasi Menjalani Hidup
- Apakah Sigmund Freud Sex Oriented?
- Ingin Membunuh Kreativitas Anak? Lakukan 5 Hal Berikut Ini!
- Kamu Menyebutnya Kesadaran
- Fokus kepada Kebahagiaan, Kunci Keberhasilan
- Hidayah Tak Datang dengan Mudah
- 8 Dampak Ketagihan Gadget pada Anak
- Puasa Mengajari Kita Menunda Kenikmatan Sesaat
- Paradigma Berpikir Bisa Menjadi Candu
- Jika Sudah Punya Mimpi, Terus Diapakan?
- 5 Langkah Detoksifikasi Kecanduan Pornografi
- Sudut Pandang Psikologi: Pembentukan Karakter di Film Joker
- Kinerja Optimal dengan Menyiasati Aspek Kecepatan dan Ketelitian Kerja
- The Philoshophers (After The Dark), Sebuah Pertarungan 'Kepala' dan 'Hati'
- 5 Situasi yang Memudahkan Mengenali Diri Sendiri
- Mengelola Dampak Adiksi Gadget pada Anak
- Bagaimana Hierarchy of Needs Abraham Maslow Melihat Motif Berpuasa Kita?
- Fokus Kekuatan Diri Dibentuk oleh Niat
- Struktur Kepribadian Menurut Sigmund Freud
- Zone of Proximal Development dan Scaffolding pada Teori Belajar Vygotsky
- Paradoxical Intention, Terapi Diri dengan Menertawakan Rasa Sakit
- Psikologi Humanistik: Dengan Teknologi, Belajar Dimanapun Bisa Dibagi
- Riya' Meter, Sebuah Alat Penakar untuk Menyelamatkan Diri dari Pamer
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- 6 Prinsip Penyelarasan Tugas untuk Menjaga Motivasi di Masa Transisi
- Fixed Mindset dan Growth Mindset, yang Manakah Dirimu?
- Apa Perbedaan Berpikir Analitis dan Berpikir Kreatif?